Wednesday, August 8, 2012

Bila Ranomi Kromowidjojo Atlet Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 121/Agustus 2012
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia



Gadis emas Jawa. Ranomi Kromowidjojo (foto), perenang Belanda berdarah Jawa,  memenangi emas Olimpiade London 2012 pada dua nomor bergengsi. Nomor 100 m dan 50 m gaya bebas perseorangan putri. 

Ketika atlet-atlet kita diperkirakan gagal memperoleh emas di ajang akbar tersebut, sempat muncul khayalan: apabila Ranomi itu atlet yang digembleng di Indonesia, apakah dirinya akan memperoleh emas pula?

Kita bisa menengok apa yang terjadi di Olimpiade Los Angeles 1984. Saat itu, mengapa Brasil hanya mampu meraih satu medali emas dari Ricardo Prado, sementara Amerika Serikat berpesta memborong 30 medali emas dari ajang yang sama, yaitu kolam renang?  Padahal keduanya  sama-sama negara besar di benua Amerika.

Untuk mencari jawaban atas pertanyaan  ini, kita dapat menyimak tesis  profesor psikologi dari California State Universty di Fresno, Robert Levine, tentang apa yang disebut sebagai waktu sosial, denyut jantung masyarakat dalam memaknai waktu.

Benturan budaya. Secara matematis manusia hidup dalam hitungan waktu yang sama, 24 jam sehari, tetapi tidak semua budaya di dunia memaknainya secara sama. Levine  yang seorang Amerika, merasakan benturan budaya akibat beda pemaknaan  waktu ketika mengajar di sebuah universitas di Brasil. Juga ketika melakukan kajian lanjutannya ke berbagai  kawasan di dunia, termasuk di Jakarta dan Solo.

Hari pertama Levine di Brasil  dijadwalkan mengajar pukul 10.00 waktu setempat.  Ia datang pukul 09.05, lalu berkeliling untuk mengenal kampus itu. Ia pikir  dirinya baru berkeliling sekitar setengah jam tetapi langsung  panik ketika melihat jam di salah satu gedung kampus   menunjuk waktu pukul 10.20.

Ia bergegas masuk ruang kuliah, ternyata  tak ada satu pun mahasiswa. Ia tanya jam pada  mahasiswa yang lewat, dijawab pukul 09.55. Lainnya menjawab, tepat pukul 09.43.  Sebuah jam di gedung itu menunjuk waktu pukul 09.15. Ia berpendapat, jam-jam penunjuk waktu yang ada tidak akurat tetapi tak ada orang yang hirau.

Ketika kuliah dimulai, banyak mahasiswa yang telat masuk ruang. Beberapa baru masuk pukul 10.30 dan mendekati pukul 11.00. Semuanya tampak merasa tidak bersalah, tersenyum dan mengucap ”halo”, dan mahasiswa lainnya pun tampak tak terganggu.

Dalam risetnya,  mahasiswa Brasil menyatakan seseorang datang terlambat bila ia muncul rata-rata 33 menit  melewati janji, sementara mahasiswa Amerika Serikat menyebut 19 menit. Setelah beberapa lama tinggal di Brasil,  ia baru terbuka matanya bahwa budaya yang mempengaruhi pemaknaan  waktu sosial itu.

Terungkap pendapat di kalangan  mahasiswa Brasil bahwa seseorang yang secara konsisten terlambat itu lebih sukses dibanding mereka yang konsisten datang lebih awal. Mereka menyetujui pendapat umum bahwa seseorang yang berstatus tinggi harus datang terlambat. Ketidaktepatan waktu  merupakan  simbol sukses. Melihat fenomena Brasil ini, kita bangsa Indonesia seperti memperoleh cermin.

Meriset wong Solo. Lebih menarik  ceritanya  ketika Levine bersama kolega kampusnya, Kathy Bartlett, melakukan riset untuk memperkaya pemahaman tentang konsep waktu sosial berbagai bangsa.  Mereka melakukan pengukuran waktu terhadap irama hidup  di  kota besar dan kota menengah di berbagai belahan dunia.

Di antaranya di Jepang (Tokyo dan Sendai), Taiwan (Taipei dan Tainan), Indonesia (Jakarta dan Solo), Italia (Roma dan Florence) dan Amerika Serikat (New York dan Rochester). Riset itu mengkaji tiga indikasi dasar: akurasi jam pada kantor bank, kecepatan pejalan kaki dan kecepatan pegawai kantor pos melayani pembelian perangko.

Akurasi waktu terbaik diraih Jepang. Alat penunjuk waktu di 15  kantor bank yang dicek dengan waktu kantor telepon setempat hanya berselisih kurang atau lebih setengah menit. Di Indonesia, yang menempati peringkat paling buncit dari keenam negara itu,   selisih beda waktunya lebih dari tiga menit.

Kecepatan  seseorang sendirian berjalan kaki menempuh jarak 100 ft yang terbaik adalah orang Jepang. Rata-rata waktu tempuhnya hanya 20,7 detik. Orang Inggris menempuhnya 21,6  detik, orang Amerika 22,5 detik dan orang Indonesia berstatus paling lambat dengan waktu tempuh 27,2 detik.

Hasil riset Robert Levine yang dituangkan dalam majalah Psychology Today (3/1985) memberikan ilustrasi ketika ia mengukur efisiensi petugas pos melayani pembelian perangko.  Di Solo, saat itu hari Jumat, ia datang siang. Tentu saja kantor pos sudah tutup lebih awal, untuk Salat Jumat.

Artikel Bambang Haryanto, "Bila Kromowidjojo Atlet Indonesia," Solopos, 8 Agustus 2012 : 4, Artikel yang mengkaji perbedaan budaya dalam mengapresiasi waktu, yang mempengaruhi prestasi atlet dan pembangunan pada umumnya
Harian Solopos, Rabu, 8 Agustus 2012 : Halaman 4.

Pada hari lain ketika ia antre di kantor pos. Pegawai pos yang menjual perangko malah asyik mengajaknya mengobrol  membicarakan kerabatnya yang tinggal di Amerika. Lima orang yang antre di belakang Levine tampak sabar. Mereka tidak mengeluh dan bahkan ikut nimbrung  atas obrolan mereka.

Walaupun demikian, efisiensi waktu pegawai pos Indonesia berada di peringkat ke-5 sebab  yang paling buncit diduduki pegawai pos Italia. Waktu layanan di Jepang 25 detik dan Italia memakan waktu 47 detik! 

Korupsi waktu. Gambaran mengenai profil waktu sosial bangsa Indonesia dalam riset Levine di atas sedikit banyak mampu memberikan gambaran mengenai posisi bangsa dan negara ini dalam berpacu   dengan bangsa lain di kancah internasional. Di kancah olahraga misalnya, seperti halnya Brasil, atlet perenang atau lari dari  Indonesia belum pernah tercatat punya prestasi puncak  di kancah seakbar olimpiade. 

Sementara dalam kehidupan sosial, guru besar emeritus Intitut Pertanian Bogor (IPB), Sjamsoe’oed Sadjad (Kompas, 17 Juli 2004), menandai bahwa budaya korupsi waktu kronis melanda para pegawai negeri sipil kita.

Ia berhitung bila 3,5 juta PNS melakukan korupsi waktu hanya satu jam setiap hari  maka  3,5 juta jam sehari rakyat kehilangan kesempatan untuk dilayani. Hitungannya, untuk pegawai negeri bergaji  Rp8,4 juta/tahun maka akibat korupsi waktu satu jam itu negara dirugikan Rp16 miliar tiap hari.

Belum lagi korupsi satu jam pada hari. Juga belum lagi kalau gajinya lebih besar dari Rp700.000/bulan. Bayangkan bila gajinya Rp150 juta seperti gaji direktur utama Pertamina. Hitung saja, bila datang ke kantor pukul 10.00.

Seperti di Brasil, di Indonesia juga berlaku tradisi bahwa semakin tinggi pangkatnya maka pejabat Indonesia  boleh dan  berhak selalu datang telat. Para dosen di perguruan tinggi datang ke kampus hanya kalau memberi kuliah.

Anehnya, kata Prof Sadjad, rakyat tidak merasa dirugikan. Rakyat tidak sadar uangnya ”digerogoti”. Apakah karena negeri ini gemah ripah loh jinawi  sehingga kehilangan Rp16 miliar/hari masih bisa  membuat kita terus tertawa-tawa?

Budaya mencatat. Kembali ke Ranomi Kromowidjojo. Merujuk realitas pahit di atas, rasanya sulit untuk menyabet emas di olimpiade apabila dirinya sebagai atlet Indonesia. Ada tambahan informasi: di dunia yang maju, tiap atlet renang dan keluarganya selalu punya catatan prestasi renangnya dari hari ke hari. Baik dalam latihan atau pun perlombaan.  Catatan itu sebagai landasan  untuk memperbaiki prestasi.

Pada diri kita? 
Budaya mencatat serupa belum punya akar kuat dalam tradisi bangsa kita. 

Begitulah, prestasi kita di Olimpiade London 2012 semakin menunjukkan betapa bangsa lain telah lari berpacu, kita terus-menerus merasa senang jatuh bangun, keserimpet  budaya korupsi, termasuk juga korupsi waktu tanpa kita menyadari kerugiannya !


Wonogiri, 8 Agustus 2012

Thursday, January 26, 2012

Tujuh Tahun Deklarasi Epistoholik Indonesia : 27 Januari 2012

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com



Deklarasi Epistoholik Indonesia Di MURI 2005: Presentasi Bambang Haryanto di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pencetus komunitas Epistoholik Indonesia. Sekaligus pada hari ulang tahun ke-15 MURI tersebut, 27 Januari 2005, warga Epistoholik Indonesia memproklamasikan tanggal yang sama sebagai Hari Epistoholik Nasional.

Nampak dalam foto (ki-ka) : Suprayitno, Joko Suprayoga (keduanya warga EI), Paulus Pangka (Manajer MURI), Ismunandar SC (Warga EI), Bambang Haryanto dan Jaya Suprana, pendiri MURI.

Pendiri MURI dalam kesempatan tersebut berkata, "gagasan (komunitas kaum epistoholik) merupakan ide terbaik yang masuk MURI tahun ini !" (Foto : Ayu Permata Pekerti/Republik Aeng-Aeng, Solo).


Visi Dan Misi Epistoholik Indonesia.
Epistoholik Indonesia (EI) digagas sebagai komunitas dan wahana jaringan antarpenulis surat-surat pembaca se-Indonesia. Melalui wahana ini antarpenulis surat pembaca dapat saling mengenal, kemudian dalam semangat asah-asih-asuh saling menyemangati sesamanya untuk menghasilkan karya surat-surat pembaca yang kritis dan bermanfaat bagi masyarakat.


Empat Impian “Memindahkan” Himalaya Melalui Surat Pembaca. Ada 4 (empat) impian yang tergantung di bintang-bintang cakrawala komunitas Epistoholik Indonesia.

Pertama, menjadikan komunitas EI ini sebagai salah satu pilar kehidupan berdemokrasi. Setelah terbungkam selama 32 tahun, kini saatnya rakyat harus berbicara. Lantang. Menyuarakan aspirasi sampai protes. Komunitas kami selalu mendorong warganya untuk cerewet, dengan menulis dan menulis, sehingga atmosfir demokrasi selalu gaduh dan riuh. Seperti kata James Buchanan, “saya suka gaduhnya demokrasi”, itulah pula cita-cita kami.

Dalam berinteraksi dengan media cetak, di tengah revolusi dunia digital yang terjadi, kami sedang berusaha mencari peran yang lebih progresif untuk menyuarakan aspirasi pembaca. Kalau selama ini media internet, radio dan televisi relatif menempatkann audiens sebagai isi secara lebih signifikan, hal itu belum banyak terjadi dalam media cetak. Mengingat media cetak selama ini terlalu journalist-centered, berpendekatan top-down, kini kami sedang mengetuk-etuk pintu mereka. Seru kami, “libatkan kami, jadikan kami sebagai sumber diskusi koran Anda, karena itu bermakna bagi masyarakat kami !”, sesuai tesis dari Dan Gillmor, pelopor citizen journalism yang kini marak di Amerika Serikat.

Niatan kami tersebut seiring pernyataan Gregory P. Gerdy, pakar Internet dari Dow Jones, dalam buku suntingan Mary J. Cronin (ed.), The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press, 1996), yang menegaskan bahwa Internet telah merombak proses penerbitan yang selama ini ada.

Dalam penerbitan cetak tradisional, aktivitas penciptaan informasi, produksi, distribusi dan konsumsi informasi, terjadi secara terpisah-pisah. Tetapi di Internet, semua proses itu terintegrasi dalam satu sistem. Terutama harus didaulatnya informasi dari para konsumennya sebagai bagian integral isi situs itu sendiri.

Perubahan konteks maha vital tersebut yang ingin kami eksploitasi, guna mampu menempatkan pembaca sebagai bagian integral isi (content) media bersangkutan. Bila tidak, maka pastilah koran bersangkutan bakal terancam ditinggalkan !

Sinergi antara peran kaum epistoholik dengan media-media baru berbasis digital berpeluang merombak eksistensi isi media secara revolusioner. Kita tahu, orang-orang yang belum mempunyai mindset dunia digital pasti berpikir bahwa iklan atau berita di media berbasis atom, alias kertas, merupakan terminal akhir suatu informasi. Padahal, agar pesan informasi tersebut makin komprehensif dan tidak bias, pemuatan itu hanyalah awal.

Lanjutannya adalah percakapan, interaksi langsung, antara pencetus dengan konsumen informasi. Disinilah dunia digital kemudian tampil mengambil peran vital. “Markets are conversations”, begitu kredo Rick Levine, Christopher Locke , Doc Searls dan David Weinberger dalam Cluetrain Manifesto : The End of Business as Usual (1999), manifesto baru dan radikal untuk dunia bisnis dalam era digital.

Percakapan itu tidak hanya antara wartawan dan pembaca (sementara di Indonesia kebanyakan wartawan ogah berdiskusi, ogah membalas email yang dikirimkan pembaca !), tetapi juga antarpara pembaca itu sendiri. Dinamika interaksi antarpembaca atau antarwarga itu belum disadari pentingnya oleh kebanyakan para pengambil keputusan dan pemilik media.

Sekadar contoh, baru-baru ini Presiden SBY mengenalkan layanan pesan singkat (SMS) untuk menerima keluhan atau pengaduan dari rakyat. Pengejawantahan kehidupan berdemokrasi di negara kita memasuki wajah baru yang boleh dibilang menggelikan. Dengan jempol untuk memijit tombol-tombol telepon seluler, baik rakyat atau pun penguasa, kini secara teoritis saling dimudahkan untuk berinteraksi, mewujudkan mekanisme checks and balances terhadap jalannya roda pemerintahan.

Selamat datang : Jempolkrasi !
Efektifkah ?

Pengiriman SMS semacam ini hanya berlangsung antara kedua belah fihak. One-to-one. Informasi yang dikirimkan praktis hanya kedua belah fihak itu yang mengetahui. Isi SMS yang tertuang juga hanya dalam ratusan karakter huruf, praktis tidak cukup untuk menguraikan suatu masalah yang kompleks. Rakyat hanya terkondisikan untuk mengadu, mengeluh, tetapi terkendala dalam memberikan solusi. Belum lagi masalah yang menyangkut kredibilitas identitas pengirim dan isi pesan yang ia sampaikan, tentu menambah kerepotan tersendiri bagi fihak pemerintah.

Di luar kendala praktis di atas, komunikasi antara warga dengan penguasa melalui jalur SMS berpeluang dimanipulasi, untuk menyembunyikan, mendistorsi atau mempeti es-kan isu yang muncul. Karena kontak terjadi secara tertutup, penguasa dapat memilih isu-isu yang populis, yang mudah dikerjakan dan mampu mendongkrak citranya. Tetapi menyingkirkan isu-isu penting tetapi peka atau merugikan fihaknya. Penyebabnya, sejak awal isu yang disampaikan warga tidak diketahui secara terbuka, tidak menjadi subjek pantauan publik atau masyarakat luas.

Steven L. Clift dalam makalahnya bertopik membangun demokrasi berbasis Internet, mengambil kasus proyek Minnesota E-Democracy (1996), berpendapat bahwa pola komunikasi antarwarga secara many-to-many yang difasilitasi Internet berbeda dari pola media massa yang one-to-many (broadcast), atau one-to-one model SMS-nya SBY, memungkinkan meningkatnya partisipasi warga dalam berdemokrasi.

Komunikasi antarwarga mampu membangun jaringan masyarakat di mana semakin banyak warga dapat saling mendengar aspirasi warga lainnya, mempunyai suara dalam menetapkan agenda, dan meningkatkan kemampuannya untuk memberikan kontribusi guna memecahkan problema yang muncul di masyarakatnya.

Sederhananya, melalui komunikasi berbasis Internet diibaratkan terciptanya ruang pertemuan masyarakat yang selalu terbuka sepanjang hari, di mana gagasan-gagsan, agenda, tokoh-tokoh, minat dan keyakinan berbaur secara dinamis. Mereka menciptakan arena untuk menampung ekspresi masyarakat, pengembangan opini dan akuntabilitas.

Hanya dengan transparansi secara elektronik semacam membuat gerakan kampanye ramai-ramai mengirim SMS kepada pejabat pemerintah tidak terancam macet hanya sebagai fads, mode semusim, sok modis, demen nyar, seremonial belaka, sok teknologis dan sok populis. Melainkan aksi yang benar-benar terencana kelanjutannya, mempunyai akuntabilitas tinggi karena mudah diawasi masyarakat tiap harinya, sehingga memiliki kredibiltas tinggi di mata warganya.


Kedua, komunitas Epistoholik Indonesia mempromosikan pentingnya keterampilan menulis, yaitu melahirkan gagasan dalam bahasa, terutama bagi generasi muda Indonesia. Kami kecewa berat terhadap luaran produk pendidikan Indonesia yang kebanyakan tidak cakap dalam menulis, bahkan menulis surat lamaran pekerjaan pun mereka tidak mampu.

Hasil penelitian dari lembaga NAEP (National Assessment of Educational Progress) di AS menyatakan, setiap anak didik itu memiliki kemampuan relatif sama dalam menyerap informasi, tetapi hanya sedikit yang mampu belajar memanfaatkan informasi-informasi itu secara efektif dalam berpikir dan bernalar. Jadi semakin terampil anak didik dalam menulis dan semakin banyak mereka menulis, akan semakin mengasah mereka menjadi intelektual yang pemikir. Kalau mayoritas generasi terdidik kita tidak menulis, artinya tidak juga berpikir, maka menurut logika filsuf Rene Descartes, “saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum), maka bangsa Indonesia ini bisa dianggap tidak ada.

Kami mendorong generasi muda untuk menulis surat pembaca. Karena menurut pengalaman empiris kami, menulis surat pembaca itu memicu kecanduan. Bisa menulis saja itu sudah mencandu, dan bila dimuat kita membayangkan gagasan kita dibaca ribuan orang, apalagi kalau nanti mendapatkan tanggapan. !


Ketiga, membangun dan memfasilitasi dialog lintas generasi. Sebagian warga komunitas kami adalah para warga senior, pensiunan. Menurut pandangan kami, di Indonesia kini ada jutaan kaum pensiunan sebagai sumber ilmu pengetahuan, pengalaman sampai kearifan, yang terbengkalai. Kita berpacu melawan waktu, bagaimana harta karun berharga mereka dapat didialogkan dengan generasinya yang lebih muda.

Kami di EI, telah mendokumentasikan surat-surat pembaca mereka di situs-situs blog di Internet, sehingga mudah diakses setiap saat dan di mana pun pengakses berada. Impian pribadi saya, di masa depan nanti pada setiap panti wreda, panti jompo atau organisasi wredatama, ada fasilitas komputer yang tersambung di Internet. Kemudian generasi muda mengajukan pertanyaan, dan kemudian jaringan kaum senior ini memberikan tanggapan.

Dinamikanya seperti segmen “Ask the Audience” dalam kuis Who Wants To Be A Millionaire, yang kedigdayaannya seperti diungkap oleh James Surowiecki, kolumnis majalah The New Yorker, dalam bukunya The Wisdom of Crowds : Why the Many Are Smarter Than the Few and How Collective Wisdom Shapes Business, Economies, Societies and Nations (2004). James Surowiecki menegaskan bahwa kecerdasan kolektif kerumunan diyakini menghasilkan luaran yang lebih baik dibanding hasil olah pikir sekelompok kalangan ahli.

Himpunan opini mereka tersebut disusun menurut peringkat, dan silakan penanya tadi untuk memilihnya. Hal sebaliknya juga dimungkinkan terjadinya dialog antarmereka ketika generasi senior justru bertanya kepada para juniornya. Teknologi semacam untuk mendorong kehidupan demokrasi telah dipelopori oleh organisasi civil liberties, MoveOn.org di Amerika Serikat.


Keempat, memberdayakan setiap insan sebagai sumber pengetahuan dan kearifan yang terintegrasi dalam jaringan untuk kesejahteraan kehidupan bersama. Saya impikan, EI kelak akan seperti amuba, yang membelah dan terus membelah. Saya impikan, misalnya si A akan mandiri untuk menghimpun para penulis surat pembaca khusus topik X, si B melakukan hal sama dengan spesialisasi topik Y, dan begitulah seterusnya.

Epistoholik Indonesia bercita-cita menghimpun street smart intellectuals, cendekiawan jalanan. Karena masing-masing orang, menurut saya, adalah cendekiawan. Hanya karena keterbatasan media untuk berekspresi, membuat gembolan, ilmu simpanan, baik pengetahuan, pengalaman sampai wisdom milik mereka, sulit keluar atau diaktualisasikan, sehingga akhirnya tidak diketahui orang lain. Mungkin hanya jadi bahan omongan, juga tidak terdokumentasikan, sehingga akhirnya mudah hilang ditelan jaman.

Kini, gempa bumi di bidang sosial dan ekonomi sebesar 10,5 skala Richter (idiom dari Nicholas Negroponte) telah terjadi. Itulah Internet. Berkat Internet, terutama blog, setiap orang kini bisa menjadi penerbit di muka dunia. Jin itu kini bisa keluar dari botol. Kucing pun meloncat keluar dari karungnya. Setiap diri kita bisa ber-tiwikrama, mampu memproklamasikan ide dan uneg-unegnya ke seluruh dunia guna bersuara di persada dunia !

Tulisan surat pembaca hanyalah puncak dari gunung es harta karun si penulisnya. Di bawah puncak itu sebenarnya tersembunyi khasanah ilmu pengetahuan, pengalaman dan kearifan tiap-tiap individu yang dapat digali dan dikomunikasikan.

Sekadar contoh realisasinya, saya pribadi telah membangun gugusan situs blog pribadi. Silakan klik blog Buka Buka Beha : http://bukabeha.blogspot.com, dan Anda akan dipandu menuju belasan situs blog sebagai kebun-kebun tulisan yang memuat informasi dan gagasan yang dapat saya sumbangkan kepada dunia.

Misalnya : pergulatan saya sebagai seorang epistoholik (dalam blog Esai Epistoholica : http://esaiei.blogspot.com), kritik dan gagasan saya seputar dunia komedi/pelawak Indonesia (Komedikus Erektus ! : http://komedian.blogspot.com), kesukaan saya terhadap lagu-lagu kelompok musik soft rock asal New Haven, Connecticut, AS, yaitu Carpenters (Close To You : http://undagi.blogspot.com), buku-buku yang saya baca (Kubu Kutu Buku : http://kutubukuku.blogspot.com), dinamika sebagai suporter sepakbola Indonesia (Suporter Indonesia : http://suporter.blogspot.com), wanita terindah yang telah pergi (Song For Anez : http://song4anez.blogspot.com), kampanye anti rokok (Bersihkan Udara Bebas Asap Rokok/B.U.B.A.R ! : http://bubar.blogspot.com) sampai berita keluarga besar saya (Trah Martowirono : http://trah.blogspot.com).


Dalam World Summit on Information Society (WSIS) II di Tunisia (16-19/11/2005) telah tercetus kredo, “apabila Anda tidak dapat berekspresi maka eksistensi Anda dianggap tidak ada”

Merujuk hal eksistensial itu maka semua warga EI saya dorong untuk memulai hal yang sama : berternak blog di Internet sebagai sarana menulis, mengaktualisasikan diri dan mempublikasikannya sehingga mampu memberikan kontribusi kepada sesama. Kalau selama ini para penulis surat pembaca ibarat tali pusarnya, umbilical cord, selalu tersambung kepada media massa, maka kehadiran blog mampu membuat penulis-penulis surat pembaca memutus tali pusar tersebut. Ibarat bayi, terputusnya tali pusar tersebut merupakan prasyarat untuk menuju kedewasaan, kemandirian dan kemerdekaan.

Memanglah, di Internet warga EI tersebut ibarat pulau-pulau cendekia, yang kecil-kecil, banyak, tetapi bisa saling tersambung dan tanpa hirarki. Kita semua terikat dalam adhocracy atau organisasi tanpa struktur. Di jaman Orba mungkin itu yang disebut sebagai OTB, organisasi tanpa bentuk. Satu sama lain lepas-lepas tetapi saling berhubungan, dipandu kesamaan visi dan tujuan. Kejayaan Hollywood merupakan ujud dan bukti kesaktian organisasi tanpa struktur ini.

Selanjutnya pulau-pulau cendekia itu diharapkan membentuk gugus-gugus cendekia yang memiliki minat sama. Semua gugus itu, juga gugus minat yang lainnya, saling terhubung dalam suatu jaringan maya. Di mana seseorang yang membutuhkan informasi sampai bimbingan tertentu akan dirujuk kepada ahlinya, sekaligus “kebun-kebun” tulisannya, atau bahkan berdiskusi dengan yang bersangkutan beserta komunitasnya. Inilah aplikasi dari manajemen ilmu pengetahuan (knowledge management) yang diterapkan untuk masyarakat luas.

Kalau dalam konstelasi media cetak kita terbiasa untuk tergantung kepada opini yang ditulis satu-dua orang pakar, di Internet pakar itu bisa banyak. Hal ini jelas memberikan lebih banyak sudut pandang, karena seringkali pencari solusi lebih mencari perspektif dibanding solusi yang baku.

Gambaran di atas tersebut senada dengan visi pakar Internet, David Weinberger, yang baru saja ikut membidani revolusi kampanye presiden di AS untuk bekas Gubernur Vermont, Howard Dean (Demokrat). Dalam bukunya Small Pieces, Loosely Joined (Perseus, 2002), ia menyimpulkan : situs web itu hanyalah ujud lain dari seutas benang dan kaleng. Tetapi situs web (dan kini juga blog) tidak lain adalah diri kita sendiri.

Pulau-pulau cendekia yang kecil-kecil itu berdampak dahsyat bila tergabung dalam sebuah jaringan. Akumulasi pengetahuan, pengalaman (terlebih lagi, seperti kata ibu Asrie M. Iman, epistoholik senior dari Jakarta, pengalaman yang hanya bisa didapatkan melalui perjalanan waktu), keahlian sampai kearifan, nantinya berharga sebagai rujukan atau pos informasi tempat kita untuk saling bertanya, meminta nasehat, berbagi informasi, saling menyemangati dalam menempuh kehidupan di dunia, yang dalam nyanyian Karen Carpenter disebut sebagai a restless world, dunia yang gelisah.

Dunia yang gelisah, dunia yang membutuhkan nubuat nabi-nabi. Di tahun 1970-an duo legendaris Simon & Garfunkel dalam lagu “Sound of Silence” mencoba memberi petunjuk, berbunyi : the words of the prophets are written on the subway walls. Nubuat para nabi-nabi tertulis di tembok-tembok stasiun trem bawah tanah.

Siapa tahu, di era blog dan Internet dewasa ini, akan ada penyanyi lain yang menggubah lagu dengan lirik baru, tentang nubuat nabi-nabi yang tertulis dalam kolom-kolom surat pembaca. Juga pada situs-situs blog masa kini.


Jalan Itu Masih Jauh ? Tetapi satu-dua langkah harus mulai dikayuh. Saat ini, sebagai awal, saya yang kerja bakti membentuk pos induk awal, amuba pertama, bagi komunitas Epistoholik Indonesia ini. Bagi warga EI yang belum melek komputer dan buta Internet, bolehlah, saya yang mengetik kembali surat–surat pembaca mereka, menampilkannya di blog-blog di Internet, lalu merayu agar mereka mau main ke warnet, dan mari kita lihat apa yang kemudian terjadi.

Tetapi bagi warga EI yang sudah melek Internet, saya ajak untuk mencoba mengenali blog, lalu melakukan aksi separatisme positif, yaitu mencoba belajar mengelola situs blog masing-masing secara mandiri. Kecintaan, cita-cita, makna semboyan episto ergo sum, dan tujuan mulia komunitas EI kita ini semoga tetap mampu mengikat kiprah-kiprah kita.

Friday, November 25, 2011

Hari Guru, Mas Triyas dan Menulis Buku

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 120/November 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia



Kebetulan yang menarik.

Menyertai Mayor Haristanto ke SMP Negeri 10 Solo (23/11) yang menjadi lokasi monumen cikal bakal penetapan Hari Guru 25 November, saya ketemu rekan yang juga seorang guru.

FX Triyas Hadi Prihantoro.

Mas Triyas adalah seorang guru dengan kualitas langka. Ia seorang penulis kolom bersubyek pendidikan dan kebudayaan. Koran semacam Solopos, Joglo Semar, Suara Merdeka dan bahkan koran nasional Kompas, sering memajang buah pikir pria tampan dan santun asli Ambarawa ini.

Saya pertama mengenalnya sebagai sesama penulis surat pembaca, sesama pegiat komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia.

Tetapi kota Solo juga mengenalnya sebagai pembicara dan aktivis kebudayaan.

Siang itu ia sedang mengantar muridnya dari SMA St Yosef Solo untuk berlomba menyanyi di aula sekolah itu. Kepadanya kemudian saya berikan buku saya, Komedikus Erektus, dengan harapan agar ia juga tergiur untuk segera menulis buku.

Bila saya sedang jalan-jalan ke toko buku, seperti di Toko Buku Gunung Agung Jakarta (21/10/2011) yang lalu, saya sering usil mengirim sms kepadanya. Isinya gelitikan bahwa dirinya pantas dan mampu untuk menulis buku.

Saya yakin, harapan saya itu akan kesampaian.
Harapan yang sama kini juga saya tujukan kepada bapak dan ibu guru yang hari ini sedang memperingati Hari Guru. Terutama beliau-beliau yang sudah pensiun.

Karena seperti kata begawan digital dari MIT, Nicholas Negroponte, bahwa kaum pensiunan merupakan harta karun kearifan dan pengetahuan dunia yang selama ini terus terbengkalai dan terabaikan !

Wonogiri, 25/11/2011

Thursday, October 6, 2011

Stay Hungry, Stay Foolish : Warga Epistoholik Mengenang Steve Jobs

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 119/Oktober 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia



Supir truk,Walter Raleigh dan Steve Jobs.
Mereka memiliki bahasa dan aksi yang berbeda tentang cinta sejati.

Walter Raleigh (1552-1618), penjelajah dan kerabat Istana Inggris, mengatakan bahwa "true love is a durable fire, in the mind ever burning, never sick, never old, never dead". Cinta sejati adalah api abadi, selalu membara di hati, tanpa pernah sakit, uzur, atau pun mati.

Supir truk memasang slogan di bak truknya : "Aku tunggu jandamu."

Steve Jobs, pendiri perusahaan Apple Corporation., dengan aksi.

"Apple adalah kekasih tercinta Jobs ketika kuliah dan kini mereka bertemu kembali dalam pesta reuni setelah 20 tahun berpisah. Steve Jobs kini telah menikah, mempunyai anak dan hidupnya bahagia.

Ketika bertemu kembali dengan kekasihnya itu, ia lihat gadisnya telah kecanduan berat alkohol, dikelilingi konco-konco yang begundal dan preman serta menghancurkan hidupnya sendiri. Walau pun demikian, nurani Jobs menilai mantan kekasihnya itu adalah seorang gadis cantik yang pernah membuainya dengan kalimat bahwa dialah satu-satunya cintanya di dunia.

Lalu apa yang Jobs kerjakan ? Tentu saja ia tak ingin menikahinya. Tetapi dirinya tidak bisa lepas tangan begitu saja karena ia masih menyayanginya. Maka ia ajak kekasihnya itu ke panti rehabilitasi korban alkohol, membantunya untuk bergaul dengan teman-teman baru yang yang lebih baik, dan mengharap yang terbaik bagi masa depannya."

Demikianlah pelukisan dengan kias yang romantis dari Larry Ellison, CEO Oracle dan sahabat karib Jobs, mengenai hubungan emosional antara Jobs dengan Apple. Cerita itu terdapat dalam artikel "Geger Kisah Cinta Ulang Apple dan Jobs" yang dimuat di harian Media Indonesia, 11 September 1997 : 12.

Dari struk kwitansi honorarium tulisan yang ditandatangani redaktur bidang Wicaksono ("di dunia blogger Indonesia kini ia lebih dikenal sebagai nDoro Kakung”, saya memperoleh honor Rp. 166.700,00. Dipotong pajak 10 persen, Rp. 16.700,00. Honor bersih : Rp. 150.000,00.

Setelah sempat ditendang selama 12 tahun dari kursi direksi Apple, kisah cinta ulang Steve Paul Jobs dan Apple yang diteguhkan kembali di pentas MacWorld di Boston 6 Agustus 1997, akhir ceritanya ibarat dalam dongeng semata.

Apple yang didirikan oleh putra mahasiswa asal Syria yang kemudian menjadi ilmuwan politik, Abdulfattah Jandali dan Joanne Carole Schieble, tetapi diadopsi dan diasuh keluarga Paul dan Clara Jobs di Mountain View, California, kini tersohor menghasilkan produk-produk yang inovatif. Dunia pun kemudian mengenal iTunes, iPods, iPhones, MacBook Air dan lain sebagainya.

Menurut koran Inggris, The Guardian, di bawah komando Jobs yang masa mudanya pernah memadu cinta dengan penyanyi ballada Joan Baez itu, pada tahun 2000 Apple bernilai 5 milyar dollar dan kini senilai 170 milyar dollar.

Artikel ini saya tulis 7 November 2010 dengan judul Like waking up, like coming home. Hampir genap setahun, sore tadi (6/10/2011) saya memperoleh kabar dari televisi, bahwa Steve Jobs telah meninggal dunia.

Kabar itu sungguh menyedihkan, walau pun saya belum pernah memiliki komputer iMac, perangkat musik iPod, telepon canggih iPhone atau pun sabak elektronik iPad. Saya hanya mampu menghimpun beberapa pendapat dan kisah penggal-penggal kisah hidupnya. Sejak 1995 hingga kini.


Termasuk di bulan Agustus 2011 yang lalu tokoh penggerak revolusi mesin, Wael Ghonim melalui akun Twitternya berbagi informasi mengenai pidato Steve Jobs di saat dies natalis ke 114 dari Universitas Stanford, 12 Juni, 2005.

Steve Jobs membagi topik hidupnya dalam tiga subjek. “ The first story is about connecting the dots. My second story is about love and loss. My third story is about death.

Untuk topik yang terakhir ini, ia bilang bahwa ketika di umur 17 tahun ia mendapati sebuah kata mutiara : “Apabila Anda menjalani hidup Anda setiap hari seperti hari itu merupakan hari terakhir hidup Anda, suatu saat hidup Anda pasti berada dalam jalur yang benar.”


Lanjutnya : “Mengingat bahwa saya akan mati suatu saat nanti, hal itu menjadi sarana paling penting yang membantu saya dalam melakukan pilihan-pilihan besar dalam hidup saya. Sebab semua hal, seperti harapan, kebanggaan, ketakutan menanggung malu atau menderita kegagalan, semua hal itu akan rontok dihadapan kematian, dan hanya meninggalkan hal yang paling penting saja.

Ingatlah bahwa Anda akan meninggal merupakan cara terbaik yang saya yakini untuk menghindari perangkap pikiran bahwa Anda akan mengalami kekalahan. Anda sudah benar-benar telanjang. Dan tidak ada alasan lain lagi untuk mengikuti kata hati.

Hampir setahun lalu saya didiagnosa mengidap kanker. Ada tumor di pankreas saya. Saya tidak tahu apa pankreas itu. Dokter mengatakan bahwa tipe kanker ini tidak dapat disembuhkan dan peluang hdup saya hanya tinggal tiga sampai enam bulan.”

Steve Jobs kemudian menjalani operasi. Lalu ia katakan dalam orasi itu bahwa dirinya baik-baik saja. Lanjutnya : “Itu adalah momen terdekat diri saya menghadapi kematian dan saya harap sebagai momen yang terdekat yang akan saya jalani beberapa dekade mendatang. Menjalani hidup seperti itu kini saya dapat berkata kepada Anda dengan yakin bahwa kematian itu berguna sebagai sebuah konsep intelektual :

Tidak seorang pun ingin mati. Bahkan seseorang yang ingin masuk surga juga tidak ingin mati. Tetapi kematian adalah tujuan yang kita semua dapat berbagi. Tak seorang pun mampu menghindarinya. Dan itu merupakan keharusan, karena kematian nampaknya merupakan temuan terbaik dari kehidupan. Ini cara untuk menghilangkan yang tua untuk memberi jalan bagi yang baru. Saat ini yang baru adalah Anda, tetapi tidak lama lagi Anda pelan-pelan menjadi tua dan tersingkirkan. Maaf, mungkin terlalu dramatis, tetapi itulah kebenaran.”

Kepada mahasiswa Universitas Stanford, Steve Jobs memberikan petuah yang kiranya juga patut menjadi renungan kita semua. Ujarnya : “Waktu Anda terbatas, sehingga jangan menghabiskan waktu untuk menjadi budak hidup orang lain. Jangan terperangkap oleh dogma, menjalani hidup hasil pemikiran orang lain. Janganlah kegaduhan opini milik orang lain itu menenggelamkan kata hati Anda. Dan yang paling penting, milikilah keberanian untuk mengikuti suara hati dan intuisi Anda. Suatu saat mereka akan mengetahui apa yang Anda cita-citakan. Hal-hal lainnya hanyalah hal sekunder adanya.

Dalam penutup pidatonya, ia bernostalgia tentang majalah edisi terakhir The Whole Earth Catalog yang diterbitkan oleh Stewart Brand di tahun 1960-an yang menjadi inspirasi hidup Steve Jobs. “Di sampul belakang tersaji foto jalan pedesaan di waktu pagi, jalanan tempat Anda tertarik untuk menjelajahinya bila Anda memiliki jiwa petualang.

Disana tersaji kalimat berbunyi, ‘Stay Hungry. Stay Foolish.’ Itulah kalimat perpisahan majalah itu. Stay Hungry. Stay Foolish. Dan saya tetap berharap hal yang sama untuk hidup saya. Sekarang, ketika diwisuda Anda akan membuka lembaran baru hidup Anda, dan saya berharap hal yang sama juga untuk Anda.

Stay Hungry. Stay Foolish.”

Sugeng tindak, Mas Steve Jobs.
Mugi panjengengan sakpuniko tentrem ing pangayunanipun Gusti Allah.



Wonogiri, 7 Oktober 2011

Monday, September 19, 2011

Ketika Dipelonco di Dapur Solopos

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 118/September 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


Pemimpin redaksi dan redaksi pelaksana koran lokal berboncengan sepeda menuju pulang. Menjelang dini hari. Mereka baru saja dari percetakan.

Tiba-tiba keduanya melihat bendera merah berkibar di tepi jalan. Tanda adanya kesripahan. Keduanya saling memandang, lalu seperti bersepakat menggumam : “Semoga bukan pelanggan koran kita.”

Hari ini, bila seorang pemimpin redaksi melihat bendera yang sama, mungkin reaksinya berbeda. Ia menelpon wartawan yang paling dekat dengan lokasi untuk mencari tahu siapa yang meninggal. Bila seorang tokoh, segera dilakukan liputan. Bagian iklan segera menyusul. Misalnya, menawarkan kapling iklan ucapan ikut berduka cita untuk perusahaan tempat almarhum bekerja.

Kedua cerita itu fiksi semata. Sekadar menggambarkan potret media kecil di masa lalu vs media besar di masa kini yang sudah menjadi entitas bisnis. Bahkan dalam skala global, seperti skandal tabloidnya taipan media Rupert Murdoch akhir-akhir ini, konglomerasi medianya diduga ikut mencampuri dan memaksakan perubahan kekuasaan politik sesuatu negara.

Yang tidak berubah, sebelum era Internet tiba, kehidupan koran bersendi kepada interaksi tiga komponen dalam media triangle, segitiga media. Di puncak segitiga adalah surat kabar. Kemudian pada dua sudut yang berada di dasar mewakili pembaca dan pengiklan. Surat kabar menyajikan berita, hiburan dan informasi bermanfaat lainnya untuk menarik pembaca. Adanya himpunan pembaca tersebut kemudian menarik para pemasang iklan untuk memajang pesan komersialnya di koran, yang ditujukan kepada pembaca yang sekaligus calon konsumen mereka.

bambang haryanto,bisnis kepercayaan,bisnis surat kabar,blogger wonogiri,ulang tahun solopos ke-14,2011,suwarmin,y. bayu widagdo,seth godin,solo kuburan koran,rapat redaksi solopos

Akhir-akhir ini mencuat kekuatiran bahwa demi mendewakan interes bisnis, koran dan pengiklan bersekongkol menginfiltrasi ranah suci kiprah para wartawan, yaitu berita, untuk disusupi iklan-iklan terselubung. Memang ada benarnya Thomas Jefferson (1743–1826), presiden Amerika Serikat ketiga, bilang bahwa iklan merupakan isi koran yang paling menyajikan kebenaran.

Tetapi praksis mencampur aduk berita dengan pesan komersial hanya membuahkan bencana bagi koran sebagai entitas bisnis kepercayaan. Pakar pemasaran digital Seth Godin dalam Unleashing The IdeaVirus (2001) wanti-wanti : “Setiap kali tukang bersin-bersin (pembawa pesan) menerima suap agar mau menularkan virus (informasi), maka kekuatannya jadi menurun.”

Boleh jadi dalam konteks untuk ikut mengamati fenomena dan kekuatiran seperti tergambar di atas, saya ketiban sampur dari harian ini. Saya diundang untuk melongoki dapur koran berpengaruh di kawasan Solo ini dengan mengikuti rapat redaksi (13/9) yang lalu. Sebuah pengalaman baru.

Robert Kiyosaki pernah bilang, bila ingin mempelajari sesuatu akrabilah dulu istilah-istilahnya. Itu yang tidak saya lakukan. Sehingga berada di antara 25 wartawan Solopos, presentasi dan diskusi hangat antarmereka saat menyiapkan materi terbitan esok hari, langsung membuat saya seperti terkena punch drunk, mabuk akibat pukulan. “Bingung dan pusing,” aku saya yang memperoleh gelak dari mereka. Saya seperti reporter yunior ikut perpeloncoan.

Syukurlah, begitu rapat berjalan, wawasan saya terbimbing untuk membuahkan pemahaman lebih mendalam. Betapa mekanisme kerja koran ini sudah mapan. Rasa saling percaya antarwartawan terjaga. Misi mereka sepakat : menyajikan informasi berguna bagi pembaca.

Materi paling hangat saat itu adalah bencana kekeringan yang terjadi (rutin) di tempat saya berasal, Wonogiri, yang kemudian diintegrasikan dengan bencana serupa dari daerah lainnya. Ketika gabungan berita itu tersaji dan dilengkapi info grafis, pembaca diajak melihat persoalan itu secara lebih integral.

Pemimpin Redaksi Y. Bayu Widagdo dan Wakil Pemimpin Redaksi Suwarmin, hadir sebagai suh, pengikat, tetapi prakarsa lebih banyak diambil redaktur masing-masing bidang. Hanya ketika mengevaluasi terbitan sebelumnya (12/9), ia memberikan pengayaan agar berita yang dimuat (kecelakaan bus maut di Mojokerto) memperoleh sajian visual lebih akurat dan sesuai konteks lokasi kejadian. “Manfaatkan situs Google Earth, bila perlu,” tandasnya.

Ketika muncul pembahasan tentang kolom “Kriing,” sebenarnya saya ingin usul agar nama-nama pengirim dan minatnya itu diopeni. Yang berprestasi didaulat sebagai hero, diwongke, ditampilkan profilnya. Antarsesama mereka difasilitasi agar bisa berinteraksi. Kajian Heath dan Heath (2007) tentang koran lokal Daily Record di Dunn, Carolina Utara (AS), menunjukkan aksi ngopeni nama membuat koran itu memiliki pelanggan sebanyak : 112 persen !

“Koran yang bagus,” demikian pengarang drama Arthur Miller, “adalah bangsa yang mampu berbicara kepada dirinya sendiri.” Koran ini saya kira mencocoki ujarannya itu. Karena mitos Solo sebagai kota kuburan koran telah dipatahkan oleh koran ini sejak 14 tahun lalu.

Yang antara lain berkat kehadirannya, antarwarga dapat saling berbicara dengan sesamanya. Untuk terbinanya saling asah-asih dan asuh, baik dalam sisi bisnis atau pun sisi idealis, untuk kemaslahatan bersama. Dirgahayu, Solopos !

Wonogiri, 15 September 2011

*) Artikel ini dengan penyuntingan telah dimuat dalam lembaran harian Solopos edisi ulang tahun ke-14, Senin, 19 September 2011.

Sunday, September 4, 2011

Ritus Reuni di Era Digital

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 117/September 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia



Setiap orang memiliki kecenderungan narsistik. Mengagumi dan mencintai dirinya sendiri. Apalagi di era Internet ini di mana setiap orang bebas untuk mengekspresikan diri mereka di hadapan dunia.

Hasil kajian terhadap pemanfaatan mesin pencari Google di Internet menunjukkan hal menarik tersebut.

John Battelle dalam bukunya The Search: How Google and Its Rivals Rewrote the Rules of Business and Transformed Our Culture (2006) mengungkap data dari jajak pendapat Harris (2004) hampir 40 persen adalah pencarian yang berbau narsis, dengan mengetikkan nama kita sendiri di mesin pencari. Tujuannya sederhana, ingin mengetahui apakah nama kita masuk sebagai salah satu “koleksi” khasanah informasi dunia.

Tetapi wartawan dan salah satu pendiri majalah gaya hidup digital Wired justru yakin bahwa pencarian berbau narsis itu mencapai porsi yang lebih tinggi. Disusul pencarian informasi tentang mantan kekasih, teman lama dan kerabat keluarga.

Di luar dunia maya, momen dan suasana Idul Fitri yang baru kita lalui itu kiranya semakin menegaskan hasil kajian John Battelle di atas. Ritus mudik lebaran untuk mempertemukan dan menautkan kembali ikatan keluarga, yang selama ini hidup mereka terpencar-pencar secara geografis, selalu saja menjadi pangilan jiwa yang sulit dielakkan ketika momen mulia itu menyapa kita.

Selain keinginan bertemu keluarga dan handai taulan, kalau Anda rajin menyimak isi kolom surat-surat pembaca, spanduk di jalanan, milis sampai status di Facebook, pasti mudah kita temui informasi tentang penyelenggaraan reuni lulusan sekolah tertentu yang mengambil momen di hari Lebaran. Mereka yang sudah berpisah selama puluhan tahun, membuat impuls-impuls nurani untuk bisa kembali merasakan atmosfir dan interaksi di masa lalu, adalah hal manusiawi yang bisa kita fahami. Dan hal itu menyehatkan jiwa.

Bahkan dari reuni para lulusan tersebut seringkali muncul aksi-aksi positif. Seperti penghimpunan dana untuk membantu pembangunan mantan sekolahnya, pemberian cendera mata sampai santunan kepada mantan-mantan guru mereka. Namun sejauh ini, para alumni itu nampak masih berkutat untuk tenggelam berasyik-asyik semata dalam “pulau-pulau kenangan” masa lalu mereka. Kegiatan rekreatif dan bahkan cenderung miopia.

Angkatan tahun sekian hanya tahu dan peduli terhadap teman seangkatannya saja. Bahkan terlibat “bentrok” ketika hendak memakai fasilitas, misalnya aula sekolah, yang pada saat yang sama juga diinginkan untuk dipakai oleh angkatan lainnya.

Belum lagi betapa para alumni itu seringkali terputus hubungannya sama sekali dengan adik-adik mereka yang kini menjadi anak didik di sekolah yang sama. Juga tidak banyak sekolah yang sengaja mendokumentasikan prestasi anak didiknya yang terdahulu untuk bisa diangkat menjadi inspirasi atau sumber motivasi bagi anak didik mereka sekarang ini.

bambang haryanto,ritus reuni,era digital,alumnus smp negeri 1 wonogiri,alumnus universitas indonesia,blogger wonogiri,valensia atika dewi

Ritual reuni para lulusan sampai aksi-aksi pemberian karitatif/berderma mereka, kini saatnya dikembangkan secara lebih kreatif dan inovatif. Utamanya, terkait dengan wacara pendidikan di era digital, yaitu pendidikan kolaboratif. Mazhab itu merujuk betapa pendidikan di era Internet dewasa ini tak bisa lagi hanya mengandalkan tutur dan kapur (talk and chalk) di kelas semata.

Anak didik kini juga harus tersambung dengan anak didik lainnya, bahkan di seberang benua, dalam proses belajar mereka. Mereka harus mampu pula tersambung dengan para kakak-kakak kelas mereka. Walau mereka dipisahkan oleh geografis sampai perbedaan usia, tetapi Internet mampu menjadi pengikat mereka dengan ragam materi interaksi yang mampu dikembangkan sejauh imajinasi kita.

Tokoh visioner dan “nabi” media digital dari Media Lab Massachusetts Institute of Technology (MIT), Nicholas Negroponte dalam bukunya Being Digital (1995), menyebutkan kini terdapat jutaan sumber daya kearifan dan intelektual yang tersia-sia. Mereka itu adalah para kaum pensiunan.

Dengan hadirnya Internet, demikian tegas Negroponte, harta karun wawasan dan pengetahuan mereka yang kaya itu dapat ditampilkan sehingga dapat diakses oleh generasi yang lebih muda. Bahkan dapat terjadi interaksi, diskusi dan kolaborasi antarmereka. Sehingga jurang generasi yang selama ini ada dapat diminimalkan.

Kecenderungan yang positif telah mendukung cita-cita tersebut, dengan hadirnya hasil-hasil penelitian di negara maju bahwa pengguna Facebook yang menunjukkan peningkatan paling pesat justru pengguna kelompok umur di atas 50 tahun.

Manfaat besar kehadiran Internet serupa seyoganya juga harus mulai dipikirkan pemanfaatannya oleh para alumni tersebut. Tidak hanya isi dompet mereka yang ditampilkan untuk “bicara,” tetapi juga wawasan, pengetahuan, kearifan sampai keteladanan yang dapat mereka tularkan kepada adik-adik mereka. Interaksi itu dapat terjadi dalam acara kuliah umum sampai pemanfaatan media-media sosial di Internet.

Sebagai contoh kasar, misalnya seorang Anissa atau Valensia yang kelas dua SMP dan bercita-cita menjadi seorang arsitek, melalui situs sekolahnya ia dapat menelusur jejak kakak-kakak kelasnya yang kini sedang berkuliah atau sudah menekuni profesi yang ia cita-citakan.

Ia dengan teman seusianya yang bercita-cita sama dapat membaca kisah pendahulu mereka sampai melakukan obrolan, chatting, sesuai waktu yang mereka sepakati untuk dilakukan. Interaksi ini dapat dikembangkan sampai masalah bimbingan karier, memilih pekerjaan, perekrutan tenaga relawan sampai tenaga profesional di masa-masa mendatang.

Reuni kangen-kangenan antaralumni itu setiap kali hanya berlangsung satu hari. Mengenang indahnya masa-masa lalu semata. Kini saatnya ritus nostalgia itu digagas untuk bisa berlanjut. Utamanya diperkaya wawasan untuk ikut serta berkontribusi mempersiapkan adik-adik mereka dalam melangkah menuju masa depan. Semoga.

*) Artikel ini dengan penyuntingan telah dimuat di harian Solopos, Sabtu, 3 September 2011, halaman 4.


Wonogiri, 4 September 2011

Saturday, August 13, 2011

Sri Harus Menyeberang Jurang

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 116/Agustus 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


Tanggal 14 Agustus 1998, Sri Mulyani Indrawati hadir di Solo sebagai pembicara utama dalam seminar ekonomi. Solo saat itu mencoba bangkit setelah huru-hara Mei 1998.

Seminar ekonomi yang diadakan oleh Forum Bisnis Surakarta (Forbis) itu juga didukung oleh PPK Bimo International, perusahaan mebel kayu milik pengusaha Jokowi, kini walikota Surakarta.

Ada momen yang menarik saat Jaya Suprana, sebagai moderator, memberikan pengantar diskusi yang berbau “nujum.” Ia katakan saat itu bahwa sosok Sri Mulyani Indrawati merupakan kandidat presiden Republik Indonesia masa depan.

Tiga belas tahun kemudian, rupanya “nujum” Mas Jaya itu terbukti. Minimal lanskap dunia politik Indonesia kini diramaikan dengan hadirnya partai baru, Partai SRI (Serikat Rakyat Independen) yang berproklamasi mengusung mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) terjun dalam kontes perebutan kursi RI-1 dalam Pilpres 2014 mendatang.

Elitis. Kehadiran Partai SRI dan misinya itu yang oleh koran Solopos ini diangkat sebagai “isu yang seksi,” jelas kemudian tidak sepi dari komentar. Yang menonjol adalah pendapat mengenai betapa beratnya perjuangan SMI untuk memenangi Pemilu 2014. Pendapat itu untuk menggarisbawahi realitas bahwa sosok SMI sulit dijual di kalangan bawah yang mayoritas pemilih.

Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto, seperti dikutip Kompas (8/8/2011) menegaskan figur SMI sebagai basis kekuatan utama SMI bersifat elitis, hanya dikenal di kalangan kelas menengah ke atas. Terutama kalangan terdidik seperti kaum intelektual, akademisi, mahasiswa dan aktivis LSM.
Diagram Kura Bell : Menyeberang Jurang Geoffrey A Moore

Merujuk analogi dari tesis konsultan pemasaran teknologi dari Lembah Silikon, Geoffrey A. Moore, kita dapat memperoleh gambaran yang menarik. Dalam buku terkenalnya, Crossing The Chasm : Marketing and Selling Technology Products to Mainstream Customers (1999), ia menggambarkan perilaku publik dalam mengonsumsi teknologi dalam bentuk kurva bel atau genta.

Pada sisi ekstrim kiri kurva, dikenal sedikit golongan yang ia sebut sebagai kelompok orang-orang yang memicu sebuah tren. Dalam kelompok ini tergabung para inovator dan pemakai awal (I-PA, innovators dan early adopters). Mereka adalah orang yang memiliki visi, mau membeli teknologi terbaru sebelum teknologi itu cukup sempurna, atau ketika harganya masih mahal.

Kelompok elit ini bersedia menanggung resiko. Orang-orang jenis ini memang kecanduan teknologi baru dan mau beresiko mengeluarkan uang untuk memiliki gadget teknologi informasi garda depan.

Pada sisi kurva ekstrim kanan, adalah kelompok terbelakang laggards) sebagai konsumen teknologi yang juga sedikit jumlahnya. Sementara itu kue paling besar adalah konsumen yang berada di tengah kurva genta, yang disebut sebagai mayoritas awal (MA, early majority) dan mayoritas terlambat (MT, late majority). Kelompok ini dia gambarkan sebagai mereka yang kuatir terhadap sesuatu perubahan yang mereka nilai akan merusak keseimbangan dalam tatanan kompleks yang sudah mapan dalam hidup mereka.

Moore menjelaskan bahwa perilaku kelompok inovator dan pemakai awal (I-PA) pada satu sisi dan kelompok mayoritas awal (MA) di sisi sebelah kanannya, walau berdekatan, tetapi sebenarnya saling tidak bersesesuaian. Akibatnya inovasi tidak berpindah begitu saja dari kelompok I-PA ke kelompok MA, karena di antara kedua kubu itu terdapat jurang (chasm) yang cukup lebar antara keduanya.

Apabila ada sebuah produk teknologi tinggi tidak berhasil menyebar keluar dari kelompok I-PA, hal itu terjadi karena perusahaan pembuatnya tidak menemukan cara untuk mengubah gagasan yang mudah diterima oleh I-PA untuk menjadi gagasan lain yang mudah diterima oleh anggota MA.

Media sosial. Sri Mulyani Indrawati yang kiranya dapat kita ibaratkan sebagai produk yang diterima oleh kelompok I-PA, tetapi seperti dikatakan oleh banyak pengamat diri dan partainya akan sulit diterima oleh kelompok mayoritas awal (MA) yang kuantitasnya jauh lebih besar. Apa solusinya ?

Kunci SRI dan SMI untuk menembus kelompok mayoritas awal (MA) itu kini sebenarnya telah tersedia. Yaitu media-media sosial, yang dapat hadir dalam beragam bentuk, misalnya milis, forum, blog, wiki, podcast, album foto dan video di Internet. Primadonanya saat ini adalah Facebook dan Twitter di mana profil Radio BBC tentang Indonesia terbaru memuat angka menarik. Penduduk Indonesia 232 juta. Pemakai Internet 30 juta. Pemakai Facebook : 37 juta. Pengguna Twitter : 5 juta. Pengguna Blackberry : 3 juta.


Lihatlah, partai-partai politik lalu tidak melewatkan untuk berusaha menubruknya. Misalnya strategi yang ditempuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebagaimana dikutip situs Politikana.com (1/3/2011), dalam meraih ambisinya menjadi partai terbesar ke-3 dalam Pemilu 2014, PKS mewajibkan 500 ribu kadernya untuk memiliki akun Twitter, blog, Facebook, dan situs pribadi.

Tidak ketinggalan Partai Golkar. Masa depan sukses memenangkan pemilu kuncinya berada di Facebook dan Twitter. Demikian kata Sharif Cicip Sutarjo, Wakil Ketua Partai Golkar, sebagaimana dikutip situs The Jakarta Globe (25/7/2011). Ia tandaskan, Partai Golkar menargetkan minimal 60 juta suara dalam Pemilu 2014. Dengan memanfaatkan meda-media sosial, ia bahkan yakin akan mampu menarik lebih dari 100 juta pemilih.

Partai Golkar tidak main-main. Kini mereka sedang gencar menggembleng kadernya untuk terampil memanfaatkan Facebook dan Twitter, di mana ambisi ini kemudian menjadi bahan satir buku Komedikus Erektus 2 : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau (2011).

Diungkap bahwa ketika Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie membuka akun Twitter ia langsung memperoleh pengikut sebanyak 300 juta. Jumlahnya bahkan melebihi jumlah penduduk Indonesia. Tetapi jangan bangga dulu. Angka ini terdiri para korban, keluarga dan mereka yang menaruh simpati terhadap rakyat yang menderita akibat luapan lumpur panas Lapindo. Dari seluruh dunia !

geoffrey e moore,crossing the chasm,bambang haryanto,sri mulyani indrawati,pilpres 2014

Profil mayoritas pengguna media-media sosial itu adalah anak-anak muda. Dibanding para calon presiden lainnya seperti misalnya Aburizal Bakrie, Ani Yudhoyono, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, sosok Sri Mulyani Indrawati jelas tampil lebih fresh di antara yang lainnya dan lebih dekat kohornya dengan para pengguna media sosial di Indonesia tersebut.

Kini tinggal terpulang kepada para pendukungnya bagaimana agar keuntungan digital ini menjadi modal SMI dan SRI agar mampu bersama-sama meloncati jurang untuk meraih kemenangan fenomenal dalam Pilpres 2014 mendatang. Sekaligus membuktikan apakah ramalan seorang Jaya Suprana di Solo 13 tahun lalu itu akan menjadi kenyataan.

*Artikel ini dengan penyuntingan telah dimuat di harian Solopos, Sabtu, 13 Agustus 2011, Halaman 6.



Wonogiri, 14/8/2011