Wednesday, January 13, 2010
Moegono Dalam Kenangan : Berjuang dan Melawan Melalui Tulisan
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 91/Januari 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
“Moegono SH tidak jemu bicara lagi tentang pemberantasan korupsi.”
Itulah intro surat pembaca yang ditulis Bapak Soeroyo di harian ini, Senin, 17 Mei 2004. Beliau mengomentari surat pembaca Pak Moegono, juga di kolom yang sama (25/4/2004).
Walau ditulis hampir enam tahun lalu, isinya tetap relevan sampai saat ini. Utamanya terkait wacana pemberantasan mafia hukum yang kini digencarkan Presiden SBY. Dalam tulisan itu Pak Soeroyo secara tajam memberi garis bawah pernyataan Pak Moegono tentang mengapa pemberantasan korupsi berjalan kelot-kelot, lamban. Karena “penggusur KKN sekarang justru belepotan dengan KKN dan ini ada di mana-mana.”
Sungguh suatu rahmat, saya bisa memiliki catatan curah pendapat dari kedua beliau yang tersaji dalam kolom surat pembaca. Karena sebagai sesama kaum epistoholik, kaum pencandu penulisan surat-surat pembaca di media massa, saya pun bisa mengenal kedua beliau.
Ketika saya mendirikan komunitas Epistoholik Indonesia, Pak Moegono malah pernah berkunjung ke rumah saya di Wonogiri. Obrolan kita terkait upaya memanfaatkan kolom surat pembaca sebagai sarana menyebarkan budaya baca tulis, melek hukum, dan tentu saja wacana pemberantasan korupsi.
Kalau Pak Soeroyo semata menulis surat pembaca sehingga sukses meraih Anugerah Solopos Award 2005, Pak Moegono yang juga menjadi pengajar di Fakultas Hukum UNS itu banyak menulis artikel. Bahkan bersama pengacara Solo lainnya, M. Taufik, telah membukukan artikel-artikel yang mereka tulis dalam buku berjudul Moralitas Penegak Hukum dan Advokat Profesi Sampah.
Perampok Surat Kabar. Sebagai kolumnis beliau memiliki gang, berdiri 28 Desember 1989 yang beliau istilahkan sebagai kelompok perampok surat kabar. Kelompok ini bahkan sudah pula dikenal Prof. Daniel S. Lev, indonesianis dari Universitas Washington, Seattle, USA.
Seperti tertuang di surat pembaca Solopos (6/11/2003), ia tulis : “Di Solo ada satu organisasi tanpa bentuk namanya KPS. Secara konvensional, KPS singkatan dari Kelompok Pengamat Sosial, tetapi secara inkonvensional KPS itu singkatan dari Kelompok Perampok Surat Kabar.
Anggota KPS ini terdiri 9 dosen UNS yang inisialnya di antaranya 3J, 3S dan 3M. Bahwa kesembilan orang tersebut adalah orang-orang yang masih mempunyai sisa-sisa idealisme, kaya konsep dan mempunyai forecasting outlook. Intelektualitas dan kredibilitasnya tidak diragukan. Misi KPS sangat mulia, yaitu mengisi kemerdekaan dan ikut serta meningkatkan kecerdasan bangsa.
Bentuk konkretnya adalah menyampaikan gagasan alternatif lewat surat kabar. Jadi, surat kabar oleh sembilan orang tersebut dijadikan arena dari drama of the intellectual frictions. Sekaligus surat kabar dijadikan sumber devisa tersembunyi. Dengan menyampaikan gagasan alternatif/artikel lewat surat kabar, mereka jelas dapat duit. Inilah arti kedua dari KPS.”
Alasan beliau gencar menulis, termasuk menulis surat pembaca, seperti dalam surat yang beliau kirimkan kepada saya adalah keinginan mendobrak budaya feodalis yang beku. Tulisnya, “Saya jengkel dengan budaya yang sedang berkembang; yaitu: “father can do no wrong, father knows everything, what the master's voice dan the singer not the song.”
Kesannya kebenaran itu, tulis Pak Moegono, merupakan monopoli orang tua dan para penguasa saja. Lebih dari itu bapak menganggap tahu segala-galanya. Menurut falsafah kebenaran, orang muda dan tidak berjabatan juga punya kebenaran.
Maka saya ingin mendobraknya, dengan mengatakan bahwa kebenaran bukan monopoli orang tua dan para penguasa. Bertolak dari hal tersebut saya ingin menyampaikan gagasan alternatif lewat media cetak.
Paspor universal. Selain menulis, topik pemberantasan korupsi, juga demokratisasi, nampak juga menjadi obsesi beliau. Dalam surat pembacanya (Solopos, 16/2/1999) ia tulis bahwa budaya korupsi merajalela di negeri kita akibat faktor “balas dendam.”
Karena sejak anak-anak mengenal dunia pendidikan sekaligus pula mereka kita kenalkan dengan “budaya celurit.” Sewaktu masuk SD sudah “dicelurit”, masuk SMP “dicelurit”, masuk SMA “dicelurit”, masuk perguruan tinggi atau akademi “dicelurit” lagi. Ujian carik, bayan, lurah juga “dicelurit”. Mendapatkan pekerjaan “dicelurit” lagi.Pindah pekerjaan dari daerah kering ke daerah basah katanya juga “dicelurit” dan lain-lain.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah : Bagaimana mereka yang pernah “dicelurit” itu, apakah mereka tidak melakukan balas dendam ? Waktu masih menuntut ilmu sudah kehilangan sekian juta, dan waktu mendapat pekerjaan masih ada pengeluaran lagi. Maka logislah jika kemudian semuanya dikalkulasi untuk cari ulih-ulihan.
Keprihatinan Pak Moegono terhadap mengguritanya budaya suap, upeti dan pemerasan di atas ia ulang lagi pada tahun 2003. Dengan judul provokatif, “Budaya Celurit Makin Menggila” (Solopos, 10/11/2003), kali ini menembak dunia wakil rakyat.
Tulis beliau, bahwa untuk menjadi anggota legislatif kabarnya juga “dicelurit.” Untuk legislatif pusat Rp. 200 juta, provinsi Rp. 150 juta, dan kabupaten Rp. 100 juta. Jika itu yang terjadi maka kita tinggal menunggu bagaimana kiprah para anggota legislatif yang pernah “dicelurit” itu. Mereka pasti berpikir : pertama peras otak untuk balik modal, selanjutnya cari untung. Terakhir, baru mikir rakyat. Solusi radikal dari beliau untuk memberantas gurita korupsi, yang kini juga dianut di Cina, adalah : pidana mati untuk pelaku korupsi !
Pengacara kritis, kolumnis, pengajar dan seorang epistoholik itu, kini tidak bersama kita lagi. Pak Moegono telah dipanggil Sang Khalik, Kamis, 31 Desember 2009, dalam usia 74 tahun. Beliau beritirahat damai di TPU Pracimoloyo, Makam Haji, Kartosuro.
“Kejujuran itu paspor universal, sehingga harus dikibarkan sepanjang masa,” tutup beliau dalam surat yang mudah saya ingat. Sebagai penanda warga Epistoholik Indonesia, pada tahun 2004 surat-surat pembaca beliau telah saya pajang dalam blog Moegono, SH. Sebagai bukti keteladanan beliau selalu ada di dalam hati kami. Dan buah pikir beliau terus pula kami kibarkan yang dapat diakses dari seluruh penjuru dunia.
Sugeng tindak, Pak Moegono, untuk bersemayam sejahtera di sisi Tuhan Yang Maha Adil.
Wonogiri, 14 Januari 2010
Catatan : Tulisan ini dengan penyuntingan redaksi telah dimuat di harian Solopos, Kamis, 14 Januari 2010.
ee
Esai Epistoholica No. 91/Januari 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
“Moegono SH tidak jemu bicara lagi tentang pemberantasan korupsi.”
Itulah intro surat pembaca yang ditulis Bapak Soeroyo di harian ini, Senin, 17 Mei 2004. Beliau mengomentari surat pembaca Pak Moegono, juga di kolom yang sama (25/4/2004).
Walau ditulis hampir enam tahun lalu, isinya tetap relevan sampai saat ini. Utamanya terkait wacana pemberantasan mafia hukum yang kini digencarkan Presiden SBY. Dalam tulisan itu Pak Soeroyo secara tajam memberi garis bawah pernyataan Pak Moegono tentang mengapa pemberantasan korupsi berjalan kelot-kelot, lamban. Karena “penggusur KKN sekarang justru belepotan dengan KKN dan ini ada di mana-mana.”
Sungguh suatu rahmat, saya bisa memiliki catatan curah pendapat dari kedua beliau yang tersaji dalam kolom surat pembaca. Karena sebagai sesama kaum epistoholik, kaum pencandu penulisan surat-surat pembaca di media massa, saya pun bisa mengenal kedua beliau.
Ketika saya mendirikan komunitas Epistoholik Indonesia, Pak Moegono malah pernah berkunjung ke rumah saya di Wonogiri. Obrolan kita terkait upaya memanfaatkan kolom surat pembaca sebagai sarana menyebarkan budaya baca tulis, melek hukum, dan tentu saja wacana pemberantasan korupsi.
Kalau Pak Soeroyo semata menulis surat pembaca sehingga sukses meraih Anugerah Solopos Award 2005, Pak Moegono yang juga menjadi pengajar di Fakultas Hukum UNS itu banyak menulis artikel. Bahkan bersama pengacara Solo lainnya, M. Taufik, telah membukukan artikel-artikel yang mereka tulis dalam buku berjudul Moralitas Penegak Hukum dan Advokat Profesi Sampah.
Perampok Surat Kabar. Sebagai kolumnis beliau memiliki gang, berdiri 28 Desember 1989 yang beliau istilahkan sebagai kelompok perampok surat kabar. Kelompok ini bahkan sudah pula dikenal Prof. Daniel S. Lev, indonesianis dari Universitas Washington, Seattle, USA.
Seperti tertuang di surat pembaca Solopos (6/11/2003), ia tulis : “Di Solo ada satu organisasi tanpa bentuk namanya KPS. Secara konvensional, KPS singkatan dari Kelompok Pengamat Sosial, tetapi secara inkonvensional KPS itu singkatan dari Kelompok Perampok Surat Kabar.
Anggota KPS ini terdiri 9 dosen UNS yang inisialnya di antaranya 3J, 3S dan 3M. Bahwa kesembilan orang tersebut adalah orang-orang yang masih mempunyai sisa-sisa idealisme, kaya konsep dan mempunyai forecasting outlook. Intelektualitas dan kredibilitasnya tidak diragukan. Misi KPS sangat mulia, yaitu mengisi kemerdekaan dan ikut serta meningkatkan kecerdasan bangsa.
Bentuk konkretnya adalah menyampaikan gagasan alternatif lewat surat kabar. Jadi, surat kabar oleh sembilan orang tersebut dijadikan arena dari drama of the intellectual frictions. Sekaligus surat kabar dijadikan sumber devisa tersembunyi. Dengan menyampaikan gagasan alternatif/artikel lewat surat kabar, mereka jelas dapat duit. Inilah arti kedua dari KPS.”
Alasan beliau gencar menulis, termasuk menulis surat pembaca, seperti dalam surat yang beliau kirimkan kepada saya adalah keinginan mendobrak budaya feodalis yang beku. Tulisnya, “Saya jengkel dengan budaya yang sedang berkembang; yaitu: “father can do no wrong, father knows everything, what the master's voice dan the singer not the song.”
Kesannya kebenaran itu, tulis Pak Moegono, merupakan monopoli orang tua dan para penguasa saja. Lebih dari itu bapak menganggap tahu segala-galanya. Menurut falsafah kebenaran, orang muda dan tidak berjabatan juga punya kebenaran.
Maka saya ingin mendobraknya, dengan mengatakan bahwa kebenaran bukan monopoli orang tua dan para penguasa. Bertolak dari hal tersebut saya ingin menyampaikan gagasan alternatif lewat media cetak.
Paspor universal. Selain menulis, topik pemberantasan korupsi, juga demokratisasi, nampak juga menjadi obsesi beliau. Dalam surat pembacanya (Solopos, 16/2/1999) ia tulis bahwa budaya korupsi merajalela di negeri kita akibat faktor “balas dendam.”
Karena sejak anak-anak mengenal dunia pendidikan sekaligus pula mereka kita kenalkan dengan “budaya celurit.” Sewaktu masuk SD sudah “dicelurit”, masuk SMP “dicelurit”, masuk SMA “dicelurit”, masuk perguruan tinggi atau akademi “dicelurit” lagi. Ujian carik, bayan, lurah juga “dicelurit”. Mendapatkan pekerjaan “dicelurit” lagi.Pindah pekerjaan dari daerah kering ke daerah basah katanya juga “dicelurit” dan lain-lain.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah : Bagaimana mereka yang pernah “dicelurit” itu, apakah mereka tidak melakukan balas dendam ? Waktu masih menuntut ilmu sudah kehilangan sekian juta, dan waktu mendapat pekerjaan masih ada pengeluaran lagi. Maka logislah jika kemudian semuanya dikalkulasi untuk cari ulih-ulihan.
Keprihatinan Pak Moegono terhadap mengguritanya budaya suap, upeti dan pemerasan di atas ia ulang lagi pada tahun 2003. Dengan judul provokatif, “Budaya Celurit Makin Menggila” (Solopos, 10/11/2003), kali ini menembak dunia wakil rakyat.
Tulis beliau, bahwa untuk menjadi anggota legislatif kabarnya juga “dicelurit.” Untuk legislatif pusat Rp. 200 juta, provinsi Rp. 150 juta, dan kabupaten Rp. 100 juta. Jika itu yang terjadi maka kita tinggal menunggu bagaimana kiprah para anggota legislatif yang pernah “dicelurit” itu. Mereka pasti berpikir : pertama peras otak untuk balik modal, selanjutnya cari untung. Terakhir, baru mikir rakyat. Solusi radikal dari beliau untuk memberantas gurita korupsi, yang kini juga dianut di Cina, adalah : pidana mati untuk pelaku korupsi !
Pengacara kritis, kolumnis, pengajar dan seorang epistoholik itu, kini tidak bersama kita lagi. Pak Moegono telah dipanggil Sang Khalik, Kamis, 31 Desember 2009, dalam usia 74 tahun. Beliau beritirahat damai di TPU Pracimoloyo, Makam Haji, Kartosuro.
“Kejujuran itu paspor universal, sehingga harus dikibarkan sepanjang masa,” tutup beliau dalam surat yang mudah saya ingat. Sebagai penanda warga Epistoholik Indonesia, pada tahun 2004 surat-surat pembaca beliau telah saya pajang dalam blog Moegono, SH. Sebagai bukti keteladanan beliau selalu ada di dalam hati kami. Dan buah pikir beliau terus pula kami kibarkan yang dapat diakses dari seluruh penjuru dunia.
Sugeng tindak, Pak Moegono, untuk bersemayam sejahtera di sisi Tuhan Yang Maha Adil.
Wonogiri, 14 Januari 2010
Catatan : Tulisan ini dengan penyuntingan redaksi telah dimuat di harian Solopos, Kamis, 14 Januari 2010.
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment