Tuesday, March 17, 2009

Media Sosial dan Masa Depan BOLA

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 69/Maret 2009
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia



Photobucket

Tabloid BOLA punya tagline baru. Membawa Anda ke Arena. Take you to arena. Menandai ulang tahunnya yang ke-25, selain dijanjikan adanya perubahan wajah dan gaya sajian isinya, tagline tersebut tentunya diharapkan sebagai frasa yang mudah diingat guna menonjolkan nada positif dan premis brand Tabloid BOLA di benak para konsumennya. Sekaligus merupakan kristalisasi dari visi dan misi tabloid olahraga satu ini dalam mengarungi masa depan.

Tagline itu dapat mengundang jebakan tidak terduga. Slogan itu sepertinya tetap mengasumsikan hubungan antara media, wartawan dan pembaca dewasa ini tidak mengalami perubahan. Wartawan tetap saja berstatus sebagai mata dan telinga yang mewakili pembaca dalam menikmati atau “mengalami” suatu peristiwa olah raga. Wartawan melaporkannya, pembaca menikmatinya. Hubungan semacam merupakan tipikal hubungan yang terjalin dalam konstelasi media cetak tradisional yang berbasis atom atau kertas. Dalam penerbitan cetak tradisional itu aktivitas penciptaan informasi, produksi, distribusi dan konsumsi informasi, memang terjadi secara terpisah-pisah.

Sayangnya, berkat Internet, konstelasi semacam itu kini semakin tergerus dan menunggu rubuh. Di Internet, penerbitan berbasis digital, semua proses itu mampu terintegrasi dalam satu sistem. Terutama semakin kuatnya tuntutan harus didaulatnya informasi dari para konsumen untuk menjadi bagian integral isi media itu sendiri. Perubahan konteks maha vital inilah yang tidak disadari oleh mayoritas pengelola media Internet di Indonesia selama ini. Sampailah kemudian hadirnya media sosial di tengah hidup kita.

Media sosial dapat hadir dalam beragam bentuk, misalnya forum di Internet, blog, wiki, podcast, album foto dan video. Media sosial berbeda dari media industri seperti surat kabar, televisi dan film. Kalau media industri membutuhkan biaya besar dan sumber daya mahal untuk menerbitkan informasi, media sosial menyediakan sarana murah bagi setiap orang untuk menjadi produser informasi. Tembok antara penerbit dan publik runtuh. Fenomena media sosial ini membalikkan konsep media massa menjadi menciptakan media untuk massa.

Akibat seriusnya, kini profesi wartawan dalam momen sejarah yang langka, ketika untuk pertama kali hegemoninya sebagai penjaga gawang informasi terancam. Tidak hanya oleh teknologi dan pesaing, tetapi utamanya dari diri para pembaca mereka sendiri. Para pembaca itu dengan bersenjatakan sarana penerbitan berbasis web yang murah dan mudah dikelola, dengan koneksi yang selalu tersambung dan semakin canggihnya sarana komunikasi bergerak, mendaulat mereka menjadi partisipan yang aktif dalam menciptakan berita atau informasi, sekaligus penyebarannya. “Anda tidak dapat pergi kemana saja atau berbuat apa saja dengan mengira tidak pernah ketahuan, karena sekarang ini semua orang adalah wartawan,” tegas Steve Patterson, pengelola situs olah raga Universitas Georgia, Amerika Serikat.

Dalam lanskap yang terbaru, ketika berlangsung peristiwa olah raga terakbar di Amerika Serikat, yaitu final kejuaraan Super Bowl XLIII awal Februari 2009 yang lalu, kiprah penonton yang sekaligus wartawan bersenjatakan media sosial jaringan sosial Facebook dan microblogging Twitter, menjadi fenomenal. Dalam blog (http://contentnation.com/news) untuk menyertai penerbitan bukunya, Content Nation : Surviving and Thriving as Social Media Changes Our Work, Our Lives, and Our Future (2009), John Blossom mengatakan “jika penonton mengirimkan informasi kepada sesama teman ketika ia duduk di depan televisi, hal itu menegaskan betapa kehadiran media sosial menjadi suara yang berpengaruh dalam event olahraga berskala nasional itu.”

Sekadar contoh konkrit, harian sohor The New York Times sampai-sampai menerbitkan peta menit demi menit kata-kata populer yang muncul dalam pesan pendek (SMS) yang dipancarkan melalui media sosial Twitter dari seluruh penjuru Amerika Serikat. Terpapar fakta bahwa disamping menonton siaran langsung lewat televisi, penonton juga tergerak menciptakan informasi, membaginya dengan orang lain, sehingga menambahkan suara mereka sendiri ke tengah gemuruh kerumunan penonton yang hadir langsung di stadion.

Ketika musikus rock Bruce Springsteen hadir di panggung mengisi saat jeda pertandingan, John Blossom menulis : “Di tengah kerumunan itu stadion riuh dihiasi pendar-pendar nyala layar telepon genggam mereka…Puluhan ribu warga biasa mengirimkan video, audio, foto dan pesan-pesan pendek kepada rekan-rekan mereka sebagai bagian integral peristiwa itu melalui sarana telepon genggamnya, yang menegaskan betapa penerbitan melalui media sosial telah menjadi bagian selebrasi diri kita sebagai umat manusia.”

Di tengah lanskap media yang berubah itu, hemat saya, tagline BOLA yang baru tersebut haruslah diberi konteks yang baru pula. Arena yang dimaksud bukan lagi berupa lokasi atau venues pertandingan semata, melainkan arena yang lebih besar lagi : arena di mana di mana semua pencinta olahraga dapat saling bersosialisasi.

Online dan offline.

Wartawan BOLA tidak lagi sekadar menjadi penjaga gawang informasi, melainkan sebagai sahabat yang sejajar untuk pembacanya. Pengalaman BOLA mampu bertahan selama 25 tahun dalam melayani pembacanya menjadi modal berharga untuk menjalin hubungan next level, yang semakin kaya makna untuk kemaslahatan bersama. Dirgahayu, BOLA !


Catatan : tulisan ini dengan penyuntingan telah dimuat di Tabloid BOLA No. 1912, 13 Maret 2009.

Wonogiri, 18/3/2009

No comments: