Monday, March 30, 2009

Caleg Narsistik, Untouchable dan Surat Pembaca

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 70/Maret 2009
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia



Caleg-Caleg Kita Yang Narsistik. “Pemasaran diri sendiri,” kata ahli pemasaran Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991), “merupakan aktivitas pemasaran yang terpenting sekaligus yang paling sulit.”

Ketika melakukan perjalanan darat Wonogiri-Tasikmalaya pulang-pergi (17-18/1/2009), sambil mengamati dan memotret beragam papan peraga kampanye para calon legislatif kita, kiranya pendapat Ries dan Trout itu benar adanya.

Katakanlah, bisa saya simpulkan, bahwa sebagian besar para caleg itu tidak memahami strategi komunikasi pemasaran. Sehingga yang menonjol adalah sikap narsis, nafsu pemujaan terhadap diri mereka sendiri dan partai mereka. Yang mereka tonjolkan adalah nama partai, nomor partai, daerah pemilihan, nomor urut dirinya, foto, lalu janji-janji dan slogan kampanye mereka.

Tak ada data nomor telepon/HP atau email yang bisa mengundang konstituen untuk berinetraksi. Pesan-pesan mereka justru kebanyakan tidak berorientasi kepada sudut pandang sasaran kampanye mereka, yaitu para konstituen. Konstituen hanya diminta maklum akan janji-janji atau mantra-mantra “jual kecap” mereka. Pendekatan tersebut berakibat fatal.

Dalam dunia komunikasi dikenal rumus WIIFM (What’s In It For Me). Sekadar contoh, etika menerima surat, sebelum membuka amplop, di benak Anda secara naluriah segera muncul pertanyaan WIIFM itu : adakah isi surat ini yang penting dan bermanfaat bagiku ?

Isi surat yang tidak memenuhi harapan itu, tentu saja mengecewakan penerimanya. Rumus ini berlaku universal. Kesimpulan saya : dalam berkomunikasi saja para caleg itu nampak kemaruk mementingkan diri mereka sendiri, apalagi bila kelak telah terpilih ? (Surat pembaca ini telah dimuat di Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 24 Januari 2009, dengan memperoleh penyuntingan).


Obama vs Caleg-Caleg Kita. Sukses Obama menjadi presiden Amerika Serikat ke-44 ditunjang pemanfaatan sarana teknologi komunikasi dan informasi (TKI) yang cerdas dalam kampanyenya. Intinya, sarana TKI itu digunakan untuk mendengar, menyerap aspirasi konstituen, dan lalu mensosialisasikannya sebagai isu bersama. Meminjam kata-kata Bung Karno, Obama sukses sebagai penyambung lidah rakyat.

Bagaimana wajah kampanye para caleg kita ? Mereka sangat elitis, egois, untouchable dan tidak merakyat, karena tidak mau membuka dialog dengan konstituennya. Simak saja peraga kampanye mereka, isinya lebih banyak mementingkan diri mereka sendiri. Memuji-muji diri sendiri.

Dalam sarana itu tidak terpajang data alamat, situs web/blog, email, telepon/HP (apalagi yang bebas pulsa) sebagai gestur kesediaan mereka membuka akses guna bersosialisasi dan berinteraksi dengan rakyat banyak yang mereka wakili. Pemilih kini benar-benar ibarat dipaksa untuk memilih kucing dalam karung ! (Dimuat di Kompas Jawa Tengah, Selasa, 3 Februari 2009, dengan memperoleh penyuntingan).


Mendadak Sok Selebritis. Selebritis menjadi makhluk istimewa karena dirinya memberikan sesuatu kepada masyarakat. Utamanya bakat artistik yang mereka geluti dan perjuangkan dalam waktu yang tidak sedikit. Mereka jadi terkenal. Masyarakat luas mudah mengenal mereka, dengan sukarela menjadi fans, pengagum, dan bahkan menghidupinya dengan membeli produk-produk artistik kreasi mereka.

Keistimewaan kaum selebritis itu kini ingin dinikmati para caleg kita. Tetapi dengan jalan pintas. Mereka yang selama ini bukan siapa-siapa, satu kecamatan pun tidak dikenal meluas, mendadak jadi sok selebritis. Lalu meminta dukungan, yang mementingkan dirinya sendiri, hanya dengan memajang papan peraga kampanye di jalan-jalan.

Rata-rata dengan olah grafika yang kacau-balau dan teks-teks yang hambar, datar, tidak menggugah. Tidak komunikatif. Tanggal 9 April 2009 akan menjadi saksi bahwa usaha jalan pintas itu hanya akan sia-sia belaka ! (Dimuat di Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 14 Februari 2009, dengan memperoleh penyuntingan).


Caleg Kita dan Melek Media. Pamer tampang dan pamer gelar akademis. Itulah yang mencolok dan mudah ditemui dalam papan peraga kampanye caleg-caleg kita. Ditambah slogan atau janji yang normatif, membuat konstituen kekurangan informasi mengenai visi-misi dan utamanya tentang kualitas intelektual caleg bersangkutan.

Saya heran, mengapa mereka tidak memanfaatkan media massa ?

Kalau kantongnya tak mampu untuk pasang iklan, mengapa mereka tidak menulis artikel atau surat pembaca ? Atau membuat blog. Dengan menulis mereka mengasah ketajaman berpikir atau pengamatannya terhadap masalah yang dihadapi para konstituen, terbuka untuk berdiskusi dan kemudian memberikan solusi.

Inilah saatnya mereka berdiri disamping rakyat dan berbicara memakai kacamata rakyat, sebuah sikap yang harus terus mereka pertahankan bila terpilih kelak sebagai wakil rakyat.

Bukti tertulis dan dibaca banyak orang itu juga bermanfaat untuk menagih janji para wakil rakyat yang ingkar janji ! (Dimuat di Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 14 Februari 2009, dengan memperoleh penyuntingan).


Partai cerai berai. Partai politik memasuki Pileg 2009 dengan situasi cerai-berai. Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemenang pileg bagi mereka yang memperoleh suara terbanyak, memang memberi kedaulatan yang lebih dominan kepada konstituen. Tetapi hal itu merupakan kartu mati bagi partai dan birokrat partai. Karena internal partai kemudian menjadi tidak solid, ketika mau tak mau antarkader mereka dipaksa untuk saling bersaing satu sama lain.

Kondisi ini melemahkan partai. Para kader/caleg terkondisikan sulit bekerjasama guna membesarkan lebih dahulu kue partainya, yaitu porsi konstituen yang dapat diraih partai mereka. Sebaliknya, para caleg itu kini sibuk saling sikut antarteman guna memburu porsi kue pribadi masing-masing untuk bisa terpilih.

Dengan menyimaki strategi dan teknik para caleg dalam menjual diri, yang sebagian besar nampak amatiran dan merupakan wajah-wajah baru yang tidak dikenal, dapat diduga betapa tidak efektifnya mereka kelak dalam menjaring suara. Selamat datang era tokoh, selamat memilih dalam kegelapan, karena para tokoh dalam Pileg 2009 ini rata-rata rakyat memang tidak mengenal akrab diri-diri mereka. (Dimuat di Kompas Jawa Tengah, Selasa, 17 Februari 2009, dengan memperoleh penyuntingan).


Balada bangsa pelupa. Orang bermain dengan cara berbeda jika skor yang mereka capai dicatat. Itulah ajaran Stephen R. Covey dalam bukunya The 8 Habit (2005). Dengan ilustrasi dalam olah raga jalanan, apa saja, ia menyatakan bahwa ketika skor pertandingan tidak dicatat akan mendorong para peserta main secara seenaknya.

Hukum serupa harus juga diterapkan dalam kehidupan berpolitik kita. Setiap warga negara harus memliki catatan mengenai rekam jejak tokoh atau partai politik tertentu. Termasuk juga ketika memasuki masa kampanye seperti saat ini.

Apalagi pada saat-saat kritis itu, dalam masa pergantian kepemimpinan melalui pemilihan umum, catatan papan skor yang kita buat dapat menjadi pedoman untuk melakukan pilihan. Jangan terbuai oleh isi iklan. Atau strategi pencitraan.

Papan skor juga memperkecil peluang rakyat untuk mudah melupakan masa lalu. Ingat kata pepatah, betapa ingatan bangsa yang buruk merupakan makanan empuk bagi para politisi busuk. Maukah kita ? (Dikirimkan ke Kompas Jawa Tengah, 16 Februari 2009. Tidak dimuat).

Vandalisme Partai Politik. Suhu kampanye Pileg 2009 mulai menghangat. Memang belum terasa bagi konstituen, tetapi baru merambati partai-partai politik peserta. Bahkan dapat diduga, justru terjadi antarcaleg di bawah payung partai yang sama. Di Wonogiri, hal itu ditunjukkan dengan semakin maraknya ulah pengrusakan atribut-atribut kampanye yang terpajang di jalanan.

Siapa pun pelakunya, tindak vandalisme itu merupakan kampanye yang nyata dan sekaligus sangat buruk bagi citra semua partai politik. Citra yang belum berubah bahwa politik itu kotor dan menghalalkan segala cara guna meraih kekuasaan jelas dipertegas dengan pesan konkrit di sebalik aksi-aksi vandalisme itu.

Mereka penganut sikap mental kelangkaan, scarcity mentality, di mana fihak/partai lain merupakan pesaing yang harus dihancurkan. Seharusnya mereka bersikap mental berkelimpahan, abundance mentality, dimana fihak lain merupakan mitra untuk saling memajukan, termasuk memacu modus yang lebih kreatif dan lebih komunikatif dalam menyapa hati rakyat secara mulia dan elegan.

Itulah catatan sisi hitam dari pesta demokrasi kita saat ini. Jadi jangan salahkan rakyat, yang sedang terpuruk dewasa ini, bila mereka muak atau alergi untuk terjerembab dalam pusaran tindak persaingan politik yang tidak beradab itu.

Apalagi rakyat semakin sadar bila mereka terancam hanya diperalat sebagai sarana pencapaian ambisi individu atau partai yang semata jualan busa-busa janji dan impian yang sulit ditagih terkait kesejahteraan mereka di masa depan. (Dimuat di Kompas Jawa Tengah, Kamis, 19 Februari 2009, dengan memperoleh penyuntingan).


Caleg Tidak Mendengar. Hai rakyat, dengarkanlah dan ikuti kata-kataku. Percayai janji-janjiku, dan pilihlah aku. Begitulah inti pesan dari berderet papan peraga kampanye para caleg yang bertebaran di jalanan. Mereka seolah berada di atas, mengira rakyat itu bodoh dan mudah mengikuti apa saja kata mereka.

Persepsi itu salah besar. Mereka harusnya mau belajar dari ujaran Rebbeca MacKinnon, seorang blogger dan peneliti di Universitas Harvard yang mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo.

Ia bilang, seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik.

Untuk mensosialisasikan pemilu dan individu caleg bersangkutan, kalau saja saya seorang birokrat KPU/KPUD atau caleg dan birokrat partai, akan saya ajari rakyat untuk menulis di beragam media. Baik artikel atau surat-surat pembaca di media massa, atau pun di blog-blog di Internet. Termasuk membebaskan mereka untuk menuliskan kritik untuk para caleg bersangkutan.

Dengan demikian maka papan peraga kampanye di jalanan itu bukan sebagai media indoktrinasi, searah, yang membodohi rakyat. Tetapi lebih merupakan undangan awal bahwa caleg bersangkutan bersedia membuka telinga untuk mendengar aspirasi rakyat. (Dimuat di Kompas Jawa Tengah, Jumat, 20 Maret 2009).


Caleg Yang Tidak Mendidik. Papan nama itu berisi tempelan beragam informasi. Dari lowongan pekerjaan, pelatihan blog, promosi real estat, kursus, seminar, sampai arisan sepeda motor. Tertempel di sebuah kios fotokopi di Wonogiri, yang semakin hari kapling halamannya semakin bertambah dengan info-info yang makin beragam pula. User generated content (UGC), demikian istilah dari dunia Internet untuk fenomena papan nama tersebut.

Para caleg Wonogiri seyogyanya memperkaya kampanyenya dengan cara UGC ini. Di kantor partai atau rumahnya, mereka dapat mendirikan papan informasi untuk masyarakat setempat. Diri mereka tampil sebagai hub, pusat persilangan informasi yang bersifat lokal, yang tentu saja relevan dengan kebutuhan konstituennya.

Prakarsa yang mendidik dan memberi manfaat ini jelas merupakan kampanye yang memiliki keunggulan tersendiri ! (Dimuat di Kompas Jawa Tengah, Rabu, 25 Februari 2009, dengan memperoleh penyuntingan).


Caleg dan Gangguan Jiwa. Caleg-caleg yang gagal terancam didera gangguan kejiwaan. Itulah topik yang marak akhir-akhir ini. Radio BBC ketika mewawancarai pimpinan rumah sakit jiwa di Solo, memperoleh penjelasan menarik.

Kursi legislatif yang ada di DPRD Solo hanya 40-an, tetapi diperebutkan oleh ratusan kontestan. Peluangnya, 1 kursi diperebutkan 10 kontestan. Jauh lebih banyak yang akan gagal, sehingga rumah sakit jiwa bersangkutan mulai kini mempersiapkan layanannya.

Angka itu sebenarnya lebih rendah bila dibandingkan dengan rasio antara lowongan pekerjaan dan pelamar pekerjaan yang aktual di negeri kita saat ini. Tetapi yang membedakan, para caleg memiliki mindset yang berbeda dibandingkan para pencari kerja.

Simak saja papan peraga kampanye mereka, hampir semua pesannya semata berorientasi dan mementingkan diri mereka sendiri. Untuk itu, bahkan mereka berani menghabiskan dana pribadi untuk meraih kursi. Jadi bisa kita bayangkan bila ambisi besar mereka itu nantinya terbentur dalam kegagalan. (Dimuat di Kompas Jawa Tengah, Selasa, 31 Maret 2009).


Politikus Instan dan Media. Siapa menanam, mengetam. Di masa mudanya Barack Obama bertahun-tahun mengabdi sebagai relawan. Bergaul dengan banyak kalangan bawah, bahkan yang tersingkirkan. Ia banyak menyerap, mendengar dan belajar. Popularitas dan keberhasilannya kini sebagai presiden AS bukan ia raih dengan cara-cara yang instan.

Kiat Obama itu semoga menjadi pelajaran bagi para caleg yang ingin bertarung di Pemilu 2014 mendatang. Mereka kini bisa belajar dari para caleg pemilu 2009 saat ini, yang nampak menonjol keinginannya untuk berhasil dengan cara-cara instan yang sebagian besar hanya akan menuai kegagalan.

Para caleg lima tahun mendatang itu harus berinvestasi mulai saat ini. Antara lain dengan menggalang hubungan yang luas, memupuk nama baik dan kepercayaan. Satu hal yang juga sangat penting, mereka harus mengasah keterampilan berkomunikasi yang memanfaatkan beragam media.

Karena di masa depan, untuk memenangkan kompetisi apa pun, setiap individu atau perusahaan harus dikelola sebagai perusahaan media ! (Dikirimkan ke Kompas Jawa Tengah, Jumat, 27 Maret 2009).


Wonogiri, 31/3/2009

ee

No comments: