Friday, April 17, 2009
Facebook : Meraba Teman Dalam Kegelapan
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 71/April 2009
Email : humor liner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Anjing Obama. The Beatles punya “With a Little Help From My Friends.” Dionne Warwick menyenandungkan suara indahnya, “In good times and bad times / I'll be on your side forever more /That's what friends are for.”
Sementara James Taylor yang lagu-lagunya dominan berwarna kelabu, putus asa dan kesepian, mengandalkan persahabatan para teman agar mampu bangkit dari keterpurukan : “Winter, spring, summer, or fall /all you've got to do is call/and I'll be there, yeah yeah yeah/you've got a friend.”
Semua lagu-lagu menawan itu bicara mengenai makna teman. Manusia sebagai makhluk sosial butuh teman. Dan konon, teman manusia yang paling setia, paling jujur, karena dirinya tidak memandang harta, status atau kecantikan, kualitas semacam itu hanya terdapat pada sosok seekor anjing.
Bicara tentang anjing, Anda kenal Bo ? Itulah anjing air Portugis (foto) yang baru-baru saja ini dimiliki keluarga orang nomor satu di AS, Barack Obama. Memiliki anjing memang menjadi salah satu janji kampanyenya, untuk putrinya Sasha dan Malia. Ketika dijamu komedian Jay Leno (19/3/2009), Obama mengatakan : ”Listen, this is Washington, that was a campaign promise… I think I'm going to have a lot of fun with it. You know, they say if you want a friend in Washington, get a dog.”
Lelucon cerdas, Mr. Obama. Langsung saja si Bo itu menjadi bulan-bulanan komedian negeri Paman Sam yang lidahnya tajam-tajam. Inilah cuap-cuap Jay Leno : “Benar-benar hal ini menjadi tradisi keluarga presiden kita. Semua mereka memiliki anjing keluarga. Keluarga Obama punya anjing yang diberi nama Bo. Keluarga Bush memiliki Barney. Keluarga Clinton juga memiliki, tentu saja, namanya Bill.”
"Bo hadir tepat waktu, sebab anak-anak Obama, Sasha dan Malia merasa kecapekan melempar-lemparkan cakram frisbee kearah Joe Biden,” celetuk komedian Jimmy Fallon.
Bayangkan bila lelucon semacam di atas diluncurkan di Indonesia.Pasti Jay Leno dan Jimmy Falon terancam masuk penjara. Dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Moga Anda masih ingat, majalah Tempo memperoleh gugatan serupa dari seorang menteri yang mungkin menggemari dan mempercayai cerita film The Omen. Ia menggugat Tempo karena foto dirinya di sampul majalah yang berupa mosaik angka-angka itu mengandung angka “666.” Dalam film The Omen angka itu diartikan sebagai simbol setan. Di Solo, angka itu sebagai merek teh !
Cerita anjing juga bisa terkait dengan koran. Apalagi anjing sering disuruh tuannya untuk mengambilkan koran di pagi hari. Dalam konteks ini, Bo bakal mengalami kesulitan. Pasalnya, kalau Anda wartawan Indonesia, silakan dulu melongoki situs Newspaper Death Watch : Chronicling the Decline of Newspapers and the Rebirth of Journalism.
Anda akan menemui daftar koran-koran di AS yang baru-baru saja ini berhenti terbit. Rocky Mountain News, Baltimore Examiner, Kentucky Post, Cincinnati Post, King County Journal, Union City Register-Tribune, Halifax Daily News, Albuquerque Tribune, South Idaho Press, San Juan Star dan masih banyak lagi yang berganti terbit sebagai edisi online semata..
Anjing Bo dan bertumbangannya koran-koran itu juga menjadi bahan lelucon. Kembali Jay Leno ngocol : “Hal paling sulit (bagi Obama) saat ini adalah bagaimana melatih anjing tersebut agar tiap pagi mampu membawakan koran untuknya ketika Bo kesulitan menemukan penerbit koran yang masih operasional.”
Kuatnya hubungan terlemah. Sudahlah. Mari lupakan koran-koran itu. Lupakan juga si Bo. Kembali kita mengobrolkan masalah utama kita : teman. Semoga Anda masih ingat (kalau Anda membaca di My Notes dalam Facebook saya), dalam postingan yang lalu, berjudul “Facebook, Putri Solo dan Malcolm Gladwell,” saya sempat menceritakan adanya teman, friend, dan juga acquaintance, kenalan, dalam lingkaran pertemanan dalam akun Facebook kita. Mana dari keduanya yang lebih mampu memberi manfaat bagi kehidupan sosial kita ?
Mungkin secara naluriah kita akan segera menyebutkan teman. Tetapi jangan remehkan kenalan. Malcolm Gladwell dalam The Tipping Point : How Little Things Can Make a Big Difference (2000), memajang cerita yang menarik tentang kenalan. Ia mengutip hasil kajian sosiolog Mark Gravonetter (1974) yang menyimpulkan bahwa, “orang tidak mendapatkan pekerjaan melalui teman. Mereka mendapatkan pekerjaan melalui kenalan.”
Mengapa begitu ? Gravonetter berpendapat bahwa ketika seseorang perlu mencari tahu tentang pekerjaan baru, atau dalam hal ini juga informasi atau gagasan-gagasan baru, koneksi lemah selalu lebih penting daripada koneksi kuat. Kenalan lebih unggul dibanding teman.
Bagaimana pun juga, teman-teman kita, koneksi kuat kita itu, adalah orang-orang yang sedunia dengan kita. Mereka mungkin sepekerjaan dengan kita, tinggal dekat kita, pergi ke tempat ibadah yang sama, belajar di sekolah yang sama, atau bergabung dengan kelompok pesta yang sama. Maka berapa banyak pengetahuan mereka yang belum kita ketahui ?
Sebaliknya, seorang kenalan, sesuai definisinya berada di dunia yang sangat berbeda dari dunia kita. Mereka mungkin sekali tahu lebih banyak tentang sesuatu yang belum kita ketahui. Para kenalan itu lebih berpeluang memiliki “suara-suara baru” yang kita perlukan. Hal serupa juga berlaku bagi perusahaan.
Gary Hamel dalam artikelnya di majalah Fortune, “Reinvent Your Company : 10 Rules for Making Billion-Dollars Business Ideas Bubble Up from Below” (12/6/2000), dalam hukum nomor ke-4 ia menandaskan pentingnya perusahaan membuka lebar-lebar telinganya guna mendengarkan suara-suara baru itu. Anda harus mencamkan, betapa ide-ide bisnis baru itu bernilai milyaran dollar dan suara-suara baru tersebut utamanya berasal dari anak-anak muda. Tepatnya, mereka yang memiliki perspektif anak muda.
Kemudian, menurut Hamel, juga suara-suara yang diunduh dari tepian peta geografis perusahaan. Kapasitas untuk hadirnya inovasi radikal meningkat sejalan dengan semakin jauhnya suara-suara baru itu dari kantor pusat perusahaan. Orang-orang dari pinggiran itu (dalam The Power of the Marginal, Paul Graham menyebut pelopor Apple Computers, yaitu Steve Jobs dan Steve Wozniak, juga sebagai kaum pinggiran) umumnya memiliki sumber daya terbatas, sehingga mereka dipaksa untuk bertindak kreatif.
Saya punya sedikit cerita pribadi. Gara-gara menulis surat pembaca, saya pernah diundang oleh pimpinan puncak kelompok media di Jawa Tengah. Ia mengeluh, ide dari anak buahnya untuk pengembangan masa depan medianya hanya normatif-normatif saja. Ia menginginkan ide dari luar kotak. Setelah menderetkan hasil kajian dari Nielsen mengenai makin merosotnya koran bagi pembaca muda, naiknya pamor Internet dan juga televisi, ia meminta pendapat saya.
Dengan membawa contoh koran The London Lite dan The London Paper (“makasih Niz, untuk oleh-olehmu ini”), saya mengusulkan agar perusahaannya menerbitkan koran secara gratisan seperti kedua koran negerinya Pangeran Charles itu. Well, sebelum berkicau mengenai segi-segi positif ikhtiar ini, rupanya diskusi harus diakhiri. Suara “the power of the marginal” dari Wonogiri sudah harus dihentikan di sini.
Kedahsyatan dari paradoks semacam ini, yaitu potensi dibalik kenalan dan suara-suara dari pinggiran dalam memacu inovasi baru, membuat Gravonetter melontarkan sebuah ungkapan yang menurut Malcolm Gladwell disebutnya bagus sekali : kekuatan di balik koneksi lemah, strength of weak ties. Pendek kata, ujarnya, kenalan, hubungan terlemah itu, justru sebagai sumber kekuatan sosial, sehingga makin banyak kenalan kita, makin besar kekuatan atau kekuasaan kita.
Teman dalam kegelapan. Kenalan ternyata sangat-sangat penting. Selamat untuk Anda yang memiliki banyak kenalan di Facebook Anda. Tetapi ngomong-ngomong, seberapa dekat Anda telah merasa mengenal kenalan-kenalan itu sampai saat ini ? Seberapa intensif dan maksimal diri Anda dalam memelihara per-kenalan-an ini ?
Jangan-jangan Anda bahkan tidak pernah melihat-lihat data profil mereka. Anda pun barangkali sudah merasa cukup hanya mengenal nama mereka, yang satu atau dua kali menulis komentar di wall Anda, dan sesudahnya Anda tidak merasa perlu mengenal lebih dekat mereka lagi ? Jangan-jangan, angka puluhan, ratusan dan bahkan ribuan nama yang terjalin dalam lingkaran pertemanan Facebook Anda itu bukan sebagai sesuatu yang penting dan punya arti untuk digali. Semua itu hanya statistik dan bukan mewakili sosok-sosok pribadi yang unik.
Saya belum pernah membaca cerita tentang hal ini di Facebook.
Mungkin karena saya masih sebagai warga baru. Saya baru bergabung dalam Facebook sejak 19 Juli 2008. Jadi mungkin terlalu dini dan terlalu ambisius bila saya mengharapkan pendapatnya Mark Gravonetter dan Gary Hamel di atas, dalam upaya menukarkan, menyemaikan dan atau memperoleh gagasan-gagasan baru, akan segera menjadi kenyataan dalam hidup saya.
Dalam beberapa obrolan, sesuatu yang bagi saya serius, ternyata ketika selesai digurat di dinding Facebook hanya bernasib seperti kapur barus. Wanginya cepat menguap habis tergerus angin lalu. Kata-kata mudah segera tidak memiliki makna.
Baiklah. Mungkin dalam menjalin pertemanan yang lebih serasi dan khas dalam konstelasi Facebook saat ini saya sebaiknya justru harus mengikuti ujaran esais dan novelis kelahiran Skotlandia, Norman Douglas (1868–1952). Saya memaknainya sebagai situasi pertemanan dalam kegelapan. Ia berkata :
To find a friend one must close one eye.
To keep him—two.
Wonogiri, 16-17/4/2009
Esai Epistoholica No. 71/April 2009
Email : humor liner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Anjing Obama. The Beatles punya “With a Little Help From My Friends.” Dionne Warwick menyenandungkan suara indahnya, “In good times and bad times / I'll be on your side forever more /That's what friends are for.”
Sementara James Taylor yang lagu-lagunya dominan berwarna kelabu, putus asa dan kesepian, mengandalkan persahabatan para teman agar mampu bangkit dari keterpurukan : “Winter, spring, summer, or fall /all you've got to do is call/and I'll be there, yeah yeah yeah/you've got a friend.”
Semua lagu-lagu menawan itu bicara mengenai makna teman. Manusia sebagai makhluk sosial butuh teman. Dan konon, teman manusia yang paling setia, paling jujur, karena dirinya tidak memandang harta, status atau kecantikan, kualitas semacam itu hanya terdapat pada sosok seekor anjing.
Bicara tentang anjing, Anda kenal Bo ? Itulah anjing air Portugis (foto) yang baru-baru saja ini dimiliki keluarga orang nomor satu di AS, Barack Obama. Memiliki anjing memang menjadi salah satu janji kampanyenya, untuk putrinya Sasha dan Malia. Ketika dijamu komedian Jay Leno (19/3/2009), Obama mengatakan : ”Listen, this is Washington, that was a campaign promise… I think I'm going to have a lot of fun with it. You know, they say if you want a friend in Washington, get a dog.”
Lelucon cerdas, Mr. Obama. Langsung saja si Bo itu menjadi bulan-bulanan komedian negeri Paman Sam yang lidahnya tajam-tajam. Inilah cuap-cuap Jay Leno : “Benar-benar hal ini menjadi tradisi keluarga presiden kita. Semua mereka memiliki anjing keluarga. Keluarga Obama punya anjing yang diberi nama Bo. Keluarga Bush memiliki Barney. Keluarga Clinton juga memiliki, tentu saja, namanya Bill.”
"Bo hadir tepat waktu, sebab anak-anak Obama, Sasha dan Malia merasa kecapekan melempar-lemparkan cakram frisbee kearah Joe Biden,” celetuk komedian Jimmy Fallon.
Bayangkan bila lelucon semacam di atas diluncurkan di Indonesia.Pasti Jay Leno dan Jimmy Falon terancam masuk penjara. Dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Moga Anda masih ingat, majalah Tempo memperoleh gugatan serupa dari seorang menteri yang mungkin menggemari dan mempercayai cerita film The Omen. Ia menggugat Tempo karena foto dirinya di sampul majalah yang berupa mosaik angka-angka itu mengandung angka “666.” Dalam film The Omen angka itu diartikan sebagai simbol setan. Di Solo, angka itu sebagai merek teh !
Cerita anjing juga bisa terkait dengan koran. Apalagi anjing sering disuruh tuannya untuk mengambilkan koran di pagi hari. Dalam konteks ini, Bo bakal mengalami kesulitan. Pasalnya, kalau Anda wartawan Indonesia, silakan dulu melongoki situs Newspaper Death Watch : Chronicling the Decline of Newspapers and the Rebirth of Journalism.
Anda akan menemui daftar koran-koran di AS yang baru-baru saja ini berhenti terbit. Rocky Mountain News, Baltimore Examiner, Kentucky Post, Cincinnati Post, King County Journal, Union City Register-Tribune, Halifax Daily News, Albuquerque Tribune, South Idaho Press, San Juan Star dan masih banyak lagi yang berganti terbit sebagai edisi online semata..
Anjing Bo dan bertumbangannya koran-koran itu juga menjadi bahan lelucon. Kembali Jay Leno ngocol : “Hal paling sulit (bagi Obama) saat ini adalah bagaimana melatih anjing tersebut agar tiap pagi mampu membawakan koran untuknya ketika Bo kesulitan menemukan penerbit koran yang masih operasional.”
Kuatnya hubungan terlemah. Sudahlah. Mari lupakan koran-koran itu. Lupakan juga si Bo. Kembali kita mengobrolkan masalah utama kita : teman. Semoga Anda masih ingat (kalau Anda membaca di My Notes dalam Facebook saya), dalam postingan yang lalu, berjudul “Facebook, Putri Solo dan Malcolm Gladwell,” saya sempat menceritakan adanya teman, friend, dan juga acquaintance, kenalan, dalam lingkaran pertemanan dalam akun Facebook kita. Mana dari keduanya yang lebih mampu memberi manfaat bagi kehidupan sosial kita ?
Mungkin secara naluriah kita akan segera menyebutkan teman. Tetapi jangan remehkan kenalan. Malcolm Gladwell dalam The Tipping Point : How Little Things Can Make a Big Difference (2000), memajang cerita yang menarik tentang kenalan. Ia mengutip hasil kajian sosiolog Mark Gravonetter (1974) yang menyimpulkan bahwa, “orang tidak mendapatkan pekerjaan melalui teman. Mereka mendapatkan pekerjaan melalui kenalan.”
Mengapa begitu ? Gravonetter berpendapat bahwa ketika seseorang perlu mencari tahu tentang pekerjaan baru, atau dalam hal ini juga informasi atau gagasan-gagasan baru, koneksi lemah selalu lebih penting daripada koneksi kuat. Kenalan lebih unggul dibanding teman.
Bagaimana pun juga, teman-teman kita, koneksi kuat kita itu, adalah orang-orang yang sedunia dengan kita. Mereka mungkin sepekerjaan dengan kita, tinggal dekat kita, pergi ke tempat ibadah yang sama, belajar di sekolah yang sama, atau bergabung dengan kelompok pesta yang sama. Maka berapa banyak pengetahuan mereka yang belum kita ketahui ?
Sebaliknya, seorang kenalan, sesuai definisinya berada di dunia yang sangat berbeda dari dunia kita. Mereka mungkin sekali tahu lebih banyak tentang sesuatu yang belum kita ketahui. Para kenalan itu lebih berpeluang memiliki “suara-suara baru” yang kita perlukan. Hal serupa juga berlaku bagi perusahaan.
Gary Hamel dalam artikelnya di majalah Fortune, “Reinvent Your Company : 10 Rules for Making Billion-Dollars Business Ideas Bubble Up from Below” (12/6/2000), dalam hukum nomor ke-4 ia menandaskan pentingnya perusahaan membuka lebar-lebar telinganya guna mendengarkan suara-suara baru itu. Anda harus mencamkan, betapa ide-ide bisnis baru itu bernilai milyaran dollar dan suara-suara baru tersebut utamanya berasal dari anak-anak muda. Tepatnya, mereka yang memiliki perspektif anak muda.
Kemudian, menurut Hamel, juga suara-suara yang diunduh dari tepian peta geografis perusahaan. Kapasitas untuk hadirnya inovasi radikal meningkat sejalan dengan semakin jauhnya suara-suara baru itu dari kantor pusat perusahaan. Orang-orang dari pinggiran itu (dalam The Power of the Marginal, Paul Graham menyebut pelopor Apple Computers, yaitu Steve Jobs dan Steve Wozniak, juga sebagai kaum pinggiran) umumnya memiliki sumber daya terbatas, sehingga mereka dipaksa untuk bertindak kreatif.
Saya punya sedikit cerita pribadi. Gara-gara menulis surat pembaca, saya pernah diundang oleh pimpinan puncak kelompok media di Jawa Tengah. Ia mengeluh, ide dari anak buahnya untuk pengembangan masa depan medianya hanya normatif-normatif saja. Ia menginginkan ide dari luar kotak. Setelah menderetkan hasil kajian dari Nielsen mengenai makin merosotnya koran bagi pembaca muda, naiknya pamor Internet dan juga televisi, ia meminta pendapat saya.
Dengan membawa contoh koran The London Lite dan The London Paper (“makasih Niz, untuk oleh-olehmu ini”), saya mengusulkan agar perusahaannya menerbitkan koran secara gratisan seperti kedua koran negerinya Pangeran Charles itu. Well, sebelum berkicau mengenai segi-segi positif ikhtiar ini, rupanya diskusi harus diakhiri. Suara “the power of the marginal” dari Wonogiri sudah harus dihentikan di sini.
Kedahsyatan dari paradoks semacam ini, yaitu potensi dibalik kenalan dan suara-suara dari pinggiran dalam memacu inovasi baru, membuat Gravonetter melontarkan sebuah ungkapan yang menurut Malcolm Gladwell disebutnya bagus sekali : kekuatan di balik koneksi lemah, strength of weak ties. Pendek kata, ujarnya, kenalan, hubungan terlemah itu, justru sebagai sumber kekuatan sosial, sehingga makin banyak kenalan kita, makin besar kekuatan atau kekuasaan kita.
Teman dalam kegelapan. Kenalan ternyata sangat-sangat penting. Selamat untuk Anda yang memiliki banyak kenalan di Facebook Anda. Tetapi ngomong-ngomong, seberapa dekat Anda telah merasa mengenal kenalan-kenalan itu sampai saat ini ? Seberapa intensif dan maksimal diri Anda dalam memelihara per-kenalan-an ini ?
Jangan-jangan Anda bahkan tidak pernah melihat-lihat data profil mereka. Anda pun barangkali sudah merasa cukup hanya mengenal nama mereka, yang satu atau dua kali menulis komentar di wall Anda, dan sesudahnya Anda tidak merasa perlu mengenal lebih dekat mereka lagi ? Jangan-jangan, angka puluhan, ratusan dan bahkan ribuan nama yang terjalin dalam lingkaran pertemanan Facebook Anda itu bukan sebagai sesuatu yang penting dan punya arti untuk digali. Semua itu hanya statistik dan bukan mewakili sosok-sosok pribadi yang unik.
Saya belum pernah membaca cerita tentang hal ini di Facebook.
Mungkin karena saya masih sebagai warga baru. Saya baru bergabung dalam Facebook sejak 19 Juli 2008. Jadi mungkin terlalu dini dan terlalu ambisius bila saya mengharapkan pendapatnya Mark Gravonetter dan Gary Hamel di atas, dalam upaya menukarkan, menyemaikan dan atau memperoleh gagasan-gagasan baru, akan segera menjadi kenyataan dalam hidup saya.
Dalam beberapa obrolan, sesuatu yang bagi saya serius, ternyata ketika selesai digurat di dinding Facebook hanya bernasib seperti kapur barus. Wanginya cepat menguap habis tergerus angin lalu. Kata-kata mudah segera tidak memiliki makna.
Baiklah. Mungkin dalam menjalin pertemanan yang lebih serasi dan khas dalam konstelasi Facebook saat ini saya sebaiknya justru harus mengikuti ujaran esais dan novelis kelahiran Skotlandia, Norman Douglas (1868–1952). Saya memaknainya sebagai situasi pertemanan dalam kegelapan. Ia berkata :
To find a friend one must close one eye.
To keep him—two.
Wonogiri, 16-17/4/2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment