Monday, August 10, 2009
Monster Hydra, Budaya Jawa dan Terorisme
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 79/Agustus 2009
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Harmoni orang Jawa. Noordin M Top diduga telah tamat riwayatnya. Yang mengagetkan, gembong aksi terorisme nomor wahid di Asia Tenggara itu tewas dalam serangan Densus 88 di Beji, Temanggung. Sebelumnya, aparat memburunya sampai Cilacap, tempat ia diduga memiliki istri ketiga.
Mengapa teroris asal Malaysia itu nampak nyaman bersembunyi dan sekaligus terus giat merancang aksi-aksi terornya dari Jateng?
Sebagai teroris yang licin, tampaknya Noordin tahu benar kelemahan budaya Jawa. Kita tahu, budaya Jawa itu memiliki pandangan ketat mengenai pentingnya harmoni, keselarasan. Perasaan yang terinternalisasi secara mendalam dalam jiwa orang Jawa adalah kepekaan untuk tidak dipermalukan di muka umum.
Perasaan demikian memupuk konformitas, pengendalian tingkah laku dan menjaga ketat harmoni sosial. Konflik yang terjadi diredam sekuat tenaga. Reaksi normal setiap orang Jawa dalam menanggapi konflik adalah penghindaran, wegah rame dan mediasi oleh pihak ketiga.
Sikap wegah rame tersebut, misalnya, mencuat pada kasus ketidakacuhan warga perumahan Jatiasih, Bekasi, terhadap pengontrak baru yang tak pernah bergaul dan berlaku tidak wajar. Ketika penggerebekan terjadi, mereka baru terkaget-kaget karena lingkungannya jadi sarang teroris. Sikap wegah rame itu pula disiratkan Kapolda Jawa Tengah Alex Bambang Riatmodjo (saat) menyatakan teroris telah menjadikan Jateng sebagai persembunyian dan wilayah perekrutan teroris-teroris baru.
Payung perlindungan. Kasus di Cilacap di mana keluarga Bahrudin Latif menikahkan anak gadisnya dengan laki-laki yang dicurigai sebagai Noordin M Top, semoga membuka mata kita betapa taktik penyusupan kaum teroris telah merambah ke ranah yang tidak kita duga sebelumnya.
Ahli intelijen yang khusus mengkaji gerakan Jemaah Islamiyah (JI) Noor Huda Ismail seperti dikutip situs Jakarta Globe (31/7) mengatakan bahwa taktik licin itu dilakukan Noordin M Top di tempat lain sebagai sarana untuk melindungi dirinya. Apalagi taktik serupa diyakini tidak hanya dilakukan oleh Noordin semata.
Sebelum di Cilacap, Noordin menikahi Munfiatun di Surabaya tahun 2004. Munfiatun ditangkap tahun 2005, dihukum tiga tahun, dibebaskan tahun 2007. Sebelumnya, Noordin dipercayai memiliki istri pertama asal Rokan Hilir, Riau. Pada 2003, rumah ini digeberebeg, tetapi dia lolos.
Noordin memang teroris yang julig. Menurut Noor Huda Ismail, ia tahu bagaimana melakukan pendekatan terhadap komunitas yang dapat memberikan perlindungan padanya, utamanya dari komunitas yang mencita-citakan berdirinya negara Islam di Indonesia. Payung budaya perlindungan dalam jaringan Islam radikal itu ia perkokoh melalui jalinan kekerabatan yang diikat tali perkawinan.
Kesetiaan yang tinggi antarmereka akhirnya memudahkan gembongnya melakukan cuci otak dalam mengindoktrinasi anak-anak muda yang terisolasi tersebut untuk menjadi martir bersenjatakan bom bunuh diri.
Penetrasi jaringan teroris kini memasuki ranah yang oleh sebagian besar kebanyakan kita sebagai warga suku Jawa merasa tidak berhak ikut campur karena berada di ranah pribadi, ranah keluarga. Tetapi karena aksi terorisme itu berdampak luas, kini setiap warga negara harus menjadi bagian paling depan untuk ikut aktif memeranginya. Apalagi terorisme sering digambarkan seperti monster Hydra dalam mitologi Yunani. Monster itu memiliki sembilan kepala, bila satu kepala ditebas, akan muncul dua kepala baru menggantikannya.
Jika ternyata tewas, dikhawatirkan Noordin segera digantikan oleh wajah-wajah baru. Monster Hydra itu baru dapat dikalahkan oleh Hercules dengan mencabut akarnya. Perumpamaan itu menunjukkan bahwa aksi penumpasan teroris yang mengandalkan aksi-aksi pihak yang berwajib, tidak akan seratus persen efektif. Solusi idealnya adalah masyarakat harus bekerja sama membuat teroris menjadi “impoten”.
Sindrom jendela pecah. Yang ditakuti teroris bukan kematian, tetapi ketika mereka tidak mampu menyerang. Aksi pencegahan untuk melumpuhkan dan mempersempit ruang gerak teroris itu dapat terjadi bila ada kedekatan, terbinanya rasa percaya, antara warga dengan pihak berwajib, khususnya polisi. Kredo Kapolda Alex Bambang Riatmodjo ketika awal memangku jabatan bertajuk the policing with love, pemolisian dengan pendekatan cinta, kini semakin dinanti realisasinya.
Tanpa realisasi hal itu, apalagi bila pihak berwajib di mata masyarakat malah dicitrakan sebagai korup, berlaku tidak adil, apalagi suka menyakiti rasa keadilan masyarakat, maka rakyat pasti enggan berhubungan dengannya. Rakyat akan menjauh.
Akibatnya, semua gejala dini tindak kejahatan sampai hal-hal yang mencurigakan akan mereka diamkan, tidak dilaporkan kepada polisi. Sehingga, teroris dan penjahat pun akan leluasa meneruskan aksinya.
Gejala dini itu oleh kriminolog James Q Wilson dan George Kelling disebut sebagai sindrom broken windows (jendela pecah), untuk menerangkan asal muasal epidemi tindak kejahatan. Mereka berpendapat, kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari ketidakteraturan.
Jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di lingkungan itu tidak ada yang peduli atau bahwa rumah itu tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu.
Menurutnya, di sebuah kota, awal yang remeh seperti corat-coret grafiti, ketidakteraturan dan pemalakan, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius lagi.
Awal yang remeh itu juga bisa terjadi dalam atmosfir budaya Jawa, justru ketika kita berusaha menjaga harmoni bertetangga. Harmoni itu pula yang mampu membuat kita terlena, menumpulkan sikap waspada, sehingga tidak tergelitik dalam mengendus ketidakwajaran. Mengambil contoh di Cilacap, jangan sampai kita tidak menyadari bahwa anak gadis tetangga adalah istri seorang teroris berbahaya.
[Artikel ini dimuat di Harian Solopos, Senin, 10 Agustus 2009 : Hal.4].
Wonogiri, 11/8/2009
ee
Esai Epistoholica No. 79/Agustus 2009
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Harmoni orang Jawa. Noordin M Top diduga telah tamat riwayatnya. Yang mengagetkan, gembong aksi terorisme nomor wahid di Asia Tenggara itu tewas dalam serangan Densus 88 di Beji, Temanggung. Sebelumnya, aparat memburunya sampai Cilacap, tempat ia diduga memiliki istri ketiga.
Mengapa teroris asal Malaysia itu nampak nyaman bersembunyi dan sekaligus terus giat merancang aksi-aksi terornya dari Jateng?
Sebagai teroris yang licin, tampaknya Noordin tahu benar kelemahan budaya Jawa. Kita tahu, budaya Jawa itu memiliki pandangan ketat mengenai pentingnya harmoni, keselarasan. Perasaan yang terinternalisasi secara mendalam dalam jiwa orang Jawa adalah kepekaan untuk tidak dipermalukan di muka umum.
Perasaan demikian memupuk konformitas, pengendalian tingkah laku dan menjaga ketat harmoni sosial. Konflik yang terjadi diredam sekuat tenaga. Reaksi normal setiap orang Jawa dalam menanggapi konflik adalah penghindaran, wegah rame dan mediasi oleh pihak ketiga.
Sikap wegah rame tersebut, misalnya, mencuat pada kasus ketidakacuhan warga perumahan Jatiasih, Bekasi, terhadap pengontrak baru yang tak pernah bergaul dan berlaku tidak wajar. Ketika penggerebekan terjadi, mereka baru terkaget-kaget karena lingkungannya jadi sarang teroris. Sikap wegah rame itu pula disiratkan Kapolda Jawa Tengah Alex Bambang Riatmodjo (saat) menyatakan teroris telah menjadikan Jateng sebagai persembunyian dan wilayah perekrutan teroris-teroris baru.
Payung perlindungan. Kasus di Cilacap di mana keluarga Bahrudin Latif menikahkan anak gadisnya dengan laki-laki yang dicurigai sebagai Noordin M Top, semoga membuka mata kita betapa taktik penyusupan kaum teroris telah merambah ke ranah yang tidak kita duga sebelumnya.
Ahli intelijen yang khusus mengkaji gerakan Jemaah Islamiyah (JI) Noor Huda Ismail seperti dikutip situs Jakarta Globe (31/7) mengatakan bahwa taktik licin itu dilakukan Noordin M Top di tempat lain sebagai sarana untuk melindungi dirinya. Apalagi taktik serupa diyakini tidak hanya dilakukan oleh Noordin semata.
Sebelum di Cilacap, Noordin menikahi Munfiatun di Surabaya tahun 2004. Munfiatun ditangkap tahun 2005, dihukum tiga tahun, dibebaskan tahun 2007. Sebelumnya, Noordin dipercayai memiliki istri pertama asal Rokan Hilir, Riau. Pada 2003, rumah ini digeberebeg, tetapi dia lolos.
Noordin memang teroris yang julig. Menurut Noor Huda Ismail, ia tahu bagaimana melakukan pendekatan terhadap komunitas yang dapat memberikan perlindungan padanya, utamanya dari komunitas yang mencita-citakan berdirinya negara Islam di Indonesia. Payung budaya perlindungan dalam jaringan Islam radikal itu ia perkokoh melalui jalinan kekerabatan yang diikat tali perkawinan.
Kesetiaan yang tinggi antarmereka akhirnya memudahkan gembongnya melakukan cuci otak dalam mengindoktrinasi anak-anak muda yang terisolasi tersebut untuk menjadi martir bersenjatakan bom bunuh diri.
Penetrasi jaringan teroris kini memasuki ranah yang oleh sebagian besar kebanyakan kita sebagai warga suku Jawa merasa tidak berhak ikut campur karena berada di ranah pribadi, ranah keluarga. Tetapi karena aksi terorisme itu berdampak luas, kini setiap warga negara harus menjadi bagian paling depan untuk ikut aktif memeranginya. Apalagi terorisme sering digambarkan seperti monster Hydra dalam mitologi Yunani. Monster itu memiliki sembilan kepala, bila satu kepala ditebas, akan muncul dua kepala baru menggantikannya.
Jika ternyata tewas, dikhawatirkan Noordin segera digantikan oleh wajah-wajah baru. Monster Hydra itu baru dapat dikalahkan oleh Hercules dengan mencabut akarnya. Perumpamaan itu menunjukkan bahwa aksi penumpasan teroris yang mengandalkan aksi-aksi pihak yang berwajib, tidak akan seratus persen efektif. Solusi idealnya adalah masyarakat harus bekerja sama membuat teroris menjadi “impoten”.
Sindrom jendela pecah. Yang ditakuti teroris bukan kematian, tetapi ketika mereka tidak mampu menyerang. Aksi pencegahan untuk melumpuhkan dan mempersempit ruang gerak teroris itu dapat terjadi bila ada kedekatan, terbinanya rasa percaya, antara warga dengan pihak berwajib, khususnya polisi. Kredo Kapolda Alex Bambang Riatmodjo ketika awal memangku jabatan bertajuk the policing with love, pemolisian dengan pendekatan cinta, kini semakin dinanti realisasinya.
Tanpa realisasi hal itu, apalagi bila pihak berwajib di mata masyarakat malah dicitrakan sebagai korup, berlaku tidak adil, apalagi suka menyakiti rasa keadilan masyarakat, maka rakyat pasti enggan berhubungan dengannya. Rakyat akan menjauh.
Akibatnya, semua gejala dini tindak kejahatan sampai hal-hal yang mencurigakan akan mereka diamkan, tidak dilaporkan kepada polisi. Sehingga, teroris dan penjahat pun akan leluasa meneruskan aksinya.
Gejala dini itu oleh kriminolog James Q Wilson dan George Kelling disebut sebagai sindrom broken windows (jendela pecah), untuk menerangkan asal muasal epidemi tindak kejahatan. Mereka berpendapat, kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari ketidakteraturan.
Jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di lingkungan itu tidak ada yang peduli atau bahwa rumah itu tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu.
Menurutnya, di sebuah kota, awal yang remeh seperti corat-coret grafiti, ketidakteraturan dan pemalakan, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius lagi.
Awal yang remeh itu juga bisa terjadi dalam atmosfir budaya Jawa, justru ketika kita berusaha menjaga harmoni bertetangga. Harmoni itu pula yang mampu membuat kita terlena, menumpulkan sikap waspada, sehingga tidak tergelitik dalam mengendus ketidakwajaran. Mengambil contoh di Cilacap, jangan sampai kita tidak menyadari bahwa anak gadis tetangga adalah istri seorang teroris berbahaya.
[Artikel ini dimuat di Harian Solopos, Senin, 10 Agustus 2009 : Hal.4].
Wonogiri, 11/8/2009
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment