Tuesday, July 27, 2010
Anak Kecil Di Toko Permen Yang Menunggang Mesin Waktu
Warga Epistoholik Indonesia Di Tengah Jagongan Media Rakyat 2010 Yogyakarta-Bagian 1
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 101/Juli 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
"Episto ergo sum !"
Saya menulis surat pembaca karena saya ada !
Salam kebanggaan warga EI itu saya lantunkan ketika menutup talkshow "Memindahkan" Himalaya Dengan Surat Pembaca, Jumat, 23 Juli 2010 Malam.
Malam itu merupakan salah satu puncak kehormatan, yang datangnya serba tak terduga-duga, ketika komunitas EI kita diundang ikut berperanserta dalam acara Jagongan Media Rakyat 2010. Bertempat di Jogya National Museum, 22-25 Juli 2010, tempat yang dulunya merupakan kampus ASRI/ISI Yogyakarta.
Atmosfir Yogya segera merayapi sumsum-sumsum memori saya kembali. Tahun 1970-1972, saya bersekolah di sini. STM Negeri 2 Yogyakarta, di Jetis. Tahun-tahun sebelumnya, ketika masih duduk di bangku SD-SMP di Wonogiri, masa liburan adalah masa - masa bermain ke Yogya. Karena ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, seorang prajurit TNI-AD, bertugas di Yogya, walau keluarganya masih tetap tinggal di Wonogiri.
Sebelum menutup dengan salam kita tadi, saya sempat menceritakan sebuah lagu, yang pertama kali juga saya dengar di Yogya ini. Melalui Radio Geronimo. Kalau tak salah tahun 1971. Saat itu Perang Vietnam masih berkecamuk. Di AS demontrans makin galak menuntut agar AS segera pergi dari negeri Paman Ho, karena sudah ribuan tentaranya tewas di sana. Protes-protes juga tergores dalam bentuk grafiti, di tembok-tembok kota dan tembok-tembok stasiun kereta api bawah tanah.
Suasana hati rakyat AS dan dunia yang gelisah itu telah dipotret oleh duo legendaris Simon & Garfunkel dalam lagu "Sound of Silence" (Suara Keheningan). Keduanya seolah memberi sasmita, dengan lirik yang indah : "The words of the prophets are written on the subway walls". Nubuat nabi-nabi tertulis di tembok-tembok stasiun trem bawah tanah.
Lalu saya timpali : "Siapa tahu, di era blog dan Internet dewasa ini, akan ada penyanyi lain yang menggubah lagu dengan lirik baru, tentang nubuat nabi-nabi yang tertulis dalam kolom-kolom surat pembaca. Juga pada situs-situs blog masa kini."
Saya memperoleh aplus untuk itu.
Aplus itu pasti juga untuk Anda, untuk semua warga EI, yang dalam keheningan tak berhenti mengguratkan suara-suara kebenaran.
Keajaiban dan fenomena goethendipity pun terjadi. Ini istilah dari pakar mind-mapping Tony Buzan yang menggabungkan antara ajaran Goethe ("Saat seseorang benar-benar melakukan sesuatu, maka takdir juga bergerak : Segala sesuatu terjadi untuk menolong saya, yang bila saya tidak melakukan sesuatu, maka itu tidak akan pernah terjadi") dengan kata serendipity, yaitu kemampuan menemukan sesuatu secara tidak disengaja ketika kita mencari sesuatu yang lain.
Tanggal 24 Juli 2010 malam, saya mengikuti diskusi bertopik "Mengelola Sumber Daya dan Pengetahuan bagi Organisasi Masyarakat Sipil." Menampilkan narasumber Idaman Andarmosoko (Pekerja Pengetahuan), Akhmad Nasir (Combine) dan Shita Laksmi (Hivos). Gara-gara diprovokasi oleh moderator, Yossy Suparyo, saya tampil sebagai penanya pertama dalam sesi itu.
Eksposure ini ternyata menghadirkan momen tak terduga. Ketika acara usai, seorang reporter radio Yogyakarta mengajak saya berbincang. Ajaibnya, ia ditemani seorang pemuda ramah, mengaku bernama Widiaji, alumnus UGM. Lalu Aji bercerita bahwa pada tahun 2002 dirinya merupakan bagian dari tim mahasiswa asal Yogyakarta yang memenangkan The Power of Dreams Contest-nya Honda (2002) di Jakarta. Sekadar info, saya juga memenangkan kontes yang sama untuk kategori peserta umum.
Widiaji, saat itu, tidak ikut dalam tim yang mempresentasikan impiannya dalam final di Jakarta. Timnya diwakili Ardian Permana dan Dular Budi Jatmiko. Sehingga saat itu, sesudah kemenangan mereka, perkenalan saya dengan Aji semata lewat email belaka. Malam itu, setelah delapan tahun, itulah kali pertama kita bertemu muka !
Sedang sang reporter ? Ia menjajaki kemungkinan saya sebagai pengisi acara dalam bincang-bincang tentang Epistoholik Indonesia kita, dua minggu mendatang. Reporter yang charming itu bernama Gracy Sondang Marpaung.
Dari Radio Geronimo !
Wonogiri, Klaten, Rebecca MacKinnon. Saya berangkat dari Wonogiri, 23/7, sekitar jam 14-an. Syukurlah, sebelum berangkat upaya saya "menyembuhkan" flash disk saya yang macet, berstatus write protected, lancar di Warnet Rion. Jadi saya bisa berangkat ke Jogya dengan ringan hati.
Sekedar info : bila flash disk itu macet, akibatnya tidak bisa digunakan untuk menyimpan data. Membuang data yang ada juga tak bisa. Bila parah, sekedar menampilkan isinya saja juga tidak bisa. Sebagai orang non-techie, saya tak tahu apa penyebabnya. Karena virus ?
Syukurlah, di bulan Maret 2010 yang lalu, dengan Google, saya menemukan "obat" untuk sakitnya flash disk saya itu. Silakan klik di sini. Lalu ikuti saja prosesnya. Insya Allah, solusi akan Anda temukan.
Flash disk yang bugar tersebut ternyata bermanfaat sekali ketika kita terjun di tengah pasar informasi yang dijajakan untuk berbagi pada beragam stan di perhelatan Jagongan Media Rakyat 2010 yang unik itu.
Berkumpul. Berbagi. Bergerak.
Dengan semboyan atau tagline yang menggugah itu, membuat spirit open source yang dikembangkan oleh penemu Linux, Linus Tolvalds, benar-benar menjadi roh yang hidup di tengah-tengah acara yang inspiratif tersebut.
Itu di Yogyakarta. Di kota saya, semangat untuk berbagi itu rupanya belum atau tidak tercermin ketika menengok kiri dan kanan jalan, saat bis yang saya tumpangi merayapi jalan raya Wonogiri-Solo, juga Solo-Yogyakarta. Saat ini di jalanan Wonogiri, dan juga di Klaten, mulai banyak dihiasi baliho-baliho besar yang memajang tampang dan janji-janji para calon bupati yang akan terjun dalam pemilihan umum kepala daerah bersangkutan.
Saya bergumam : baliho-baliho itu semangatnya seragam. Tidak mau berbagi. Sekaligus mencerminkan si kandidat sebagai tokoh yang tidak (mau) tersentuh. Terkait hal itu saya pernah menulis surat pembaca di Kompas Jawa Tengah (19/5/2010) tentang baliho-baliho sarat sikap arogansi itu. Berjudul "Pilkada, Google dan Wonogiri."
Petikan isinya : "Jual tampang dan jual gelar-gelar akademis merupakan pemandangan biasa menjelang Pilkada. Saksikan saja isi media kampanye para kandidat yang bertebaran di pinggir jalan raya, di mana di Wonogiri hal serupa mulai terjadi.
Tetapi kebanyakaan modus kampanye mereka bergaya sok artis, sok terkenal, dan selfish, mementingkan diri sendiri, karena tidak membuka peluang dialog dengan konstituen. Tak ada data nomor telepon/HP, email, blog/situs yang bisa mengundang konstituen untuk berinteraksi. Para kandidat pemimpin daerah di Wonogiri nampaknya belum terbuka cakrawalanya untuk memanfaatkan teknologi informasi secara semestinya."
Memanfaatkannya pun masih dengan pola pikir lama. Pagi itu, tiba-tiba sebuah SMS kampanye masuk ke HP saya. Saya tidak tahu bagaimana nomor saya bisa masuk dalam jangkauan si pengirim. Bunyi SMS tim sukses calon yang memperoleh nomor 3 itu sebagai berikut :
"Ingin perubahan ? Lakukan n pengaruhi keluarga, tetangga, handai taulan, n siapa pun termasuk para olahragawan, pemerhati olahraga, pelatih, pemerhati pendidikan, pemerhati kesehatan, pemerhati anak-anak, pejabat, buruh, kuli panggul, sopir, kernet, petani, peternak sampai rakyat profesi apapun utk ingat n coblos MUDY…(mulyadi-edy) : no 1 buka kartu no 2 lht gambarnya ben ora kliru no 3 dicoblos no 4 dilipat trus mskkan kotak suara. Gampang tho. Insya Allah upaya panj semua berkah. Amin." (23 Juli 2010 : 07.03.07).
SMS itu saya balas. "Agar kampanye Anda sukses, saya usulkan : 1. Jangan mengirimkan SMS yang isinya menyuruh-nyuruh orang, 2. Kirimkan SMS yang relevan dengan mindset para penerima dan tidak hanya sekali, dan 3. Ikuti nasehat pakar pemasaran digital Seth Godin yang memiliki formula mengubah orang asing menjadi kenalan, kenalan menjadi teman, dan teman menjadi pengikut."
Produk atau layanan teknologi informasi masa kini merupakan media ideal untuk berkampanye, asal dilandasi semangat yang tulus untuk berbagi. Karena karakter media digital adalah interaktif dan egaliter. Sungguh merupakan strategi yang mencerdaskan bila para kandidat itu tidak menganggap konstituen hanya sebagai botol kosong yang boleh mereka isi dengan citra atau janji muluk-muluk kampanye yang mereka tulis di baliho-baliho, spanduk sampai stiker mereka itu
Melainkan, secara legawa dan bersemangat mendaulat para konstituen untuk berbicara balik kepada dirinya. Baik lewat surat, faks, email, telepon, SMS sampai ke bentuk penulisan surat-surat pembaca. Lalu, para kandidat mencerna semua aspirasi itu, kemudian membalasnya, mendiskusikannya secara bersama.
Surat pembaca saya lainnya, berjudul "Caleg Tidak Mendengar" di harian Kompas Jawa Tengah (20/3/2009) membahas lebih lanjut akan hal itu. Selengkapnya berbunyi :
"Hai rakyat, dengarkanlah dan ikuti kata-kataku. Percayai janji-janjiku, dan pilihlah aku. Begitulah inti pesan dari berderet papan peraga kampanye para caleg yang bertebaran di jalanan. Mereka seolah berada di atas, mengira rakyat itu bodoh dan mudah mengikuti apa saja kata mereka.
Persepsi itu salah besar. Mereka harusnya mau belajar dari ujaran Rebbeca MacKinnon, seorang blogger dan peneliti di Universitas Harvard yang mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo.
Ia bilang, seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik.
Untuk mensosialisasikan pemilu dan individu caleg bersangkutan, kalau saja saya seorang birokrat KPU/KPUD atau caleg dan birokrat partai, akan saya ajari rakyat untuk menulis di beragam media. Baik artikel atau surat-surat pembaca di media massa, atau pun di blog-blog di Internet. Termasuk membebaskan mereka untuk menuliskan kritik untuk para caleg bersangkutan.
Dengan demikian maka papan peraga kampanye di jalanan itu bukan sebagai media indoktrinasi, searah, yang membodohi rakyat. Tetapi lebih merupakan undangan awal bahwa caleg bersangkutan bersedia membuka telinga untuk mendengar aspirasi rakyat."
Saya bersemangat berangkat ke Yogya, antara lain untuk berupaya mengampanyekan bagaimana kolom surat-surat pembaca dapat didaulat sebagai media rakyat untuk berbicara. Ternyata, di tengah perhelatan Jagongan Media Rakyat 2010 itu mata saya semakin terbuka terhadap kehadiran beragam media lainnya sebagai sarana rakyat untuk berbicara. Terjun di tengah keragaman itu maka rasanya petualangan seorang anak kecil yang kecebur di tengah-tengah toko permen,merangsang untuk segera dimulai !
(Bersambung)
Wonogiri, 26-27/7/2010
ee
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 101/Juli 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
"Episto ergo sum !"
Saya menulis surat pembaca karena saya ada !
Salam kebanggaan warga EI itu saya lantunkan ketika menutup talkshow "Memindahkan" Himalaya Dengan Surat Pembaca, Jumat, 23 Juli 2010 Malam.
Malam itu merupakan salah satu puncak kehormatan, yang datangnya serba tak terduga-duga, ketika komunitas EI kita diundang ikut berperanserta dalam acara Jagongan Media Rakyat 2010. Bertempat di Jogya National Museum, 22-25 Juli 2010, tempat yang dulunya merupakan kampus ASRI/ISI Yogyakarta.
Atmosfir Yogya segera merayapi sumsum-sumsum memori saya kembali. Tahun 1970-1972, saya bersekolah di sini. STM Negeri 2 Yogyakarta, di Jetis. Tahun-tahun sebelumnya, ketika masih duduk di bangku SD-SMP di Wonogiri, masa liburan adalah masa - masa bermain ke Yogya. Karena ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, seorang prajurit TNI-AD, bertugas di Yogya, walau keluarganya masih tetap tinggal di Wonogiri.
Sebelum menutup dengan salam kita tadi, saya sempat menceritakan sebuah lagu, yang pertama kali juga saya dengar di Yogya ini. Melalui Radio Geronimo. Kalau tak salah tahun 1971. Saat itu Perang Vietnam masih berkecamuk. Di AS demontrans makin galak menuntut agar AS segera pergi dari negeri Paman Ho, karena sudah ribuan tentaranya tewas di sana. Protes-protes juga tergores dalam bentuk grafiti, di tembok-tembok kota dan tembok-tembok stasiun kereta api bawah tanah.
Suasana hati rakyat AS dan dunia yang gelisah itu telah dipotret oleh duo legendaris Simon & Garfunkel dalam lagu "Sound of Silence" (Suara Keheningan). Keduanya seolah memberi sasmita, dengan lirik yang indah : "The words of the prophets are written on the subway walls". Nubuat nabi-nabi tertulis di tembok-tembok stasiun trem bawah tanah.
Lalu saya timpali : "Siapa tahu, di era blog dan Internet dewasa ini, akan ada penyanyi lain yang menggubah lagu dengan lirik baru, tentang nubuat nabi-nabi yang tertulis dalam kolom-kolom surat pembaca. Juga pada situs-situs blog masa kini."
Saya memperoleh aplus untuk itu.
Aplus itu pasti juga untuk Anda, untuk semua warga EI, yang dalam keheningan tak berhenti mengguratkan suara-suara kebenaran.
Keajaiban dan fenomena goethendipity pun terjadi. Ini istilah dari pakar mind-mapping Tony Buzan yang menggabungkan antara ajaran Goethe ("Saat seseorang benar-benar melakukan sesuatu, maka takdir juga bergerak : Segala sesuatu terjadi untuk menolong saya, yang bila saya tidak melakukan sesuatu, maka itu tidak akan pernah terjadi") dengan kata serendipity, yaitu kemampuan menemukan sesuatu secara tidak disengaja ketika kita mencari sesuatu yang lain.
Tanggal 24 Juli 2010 malam, saya mengikuti diskusi bertopik "Mengelola Sumber Daya dan Pengetahuan bagi Organisasi Masyarakat Sipil." Menampilkan narasumber Idaman Andarmosoko (Pekerja Pengetahuan), Akhmad Nasir (Combine) dan Shita Laksmi (Hivos). Gara-gara diprovokasi oleh moderator, Yossy Suparyo, saya tampil sebagai penanya pertama dalam sesi itu.
Eksposure ini ternyata menghadirkan momen tak terduga. Ketika acara usai, seorang reporter radio Yogyakarta mengajak saya berbincang. Ajaibnya, ia ditemani seorang pemuda ramah, mengaku bernama Widiaji, alumnus UGM. Lalu Aji bercerita bahwa pada tahun 2002 dirinya merupakan bagian dari tim mahasiswa asal Yogyakarta yang memenangkan The Power of Dreams Contest-nya Honda (2002) di Jakarta. Sekadar info, saya juga memenangkan kontes yang sama untuk kategori peserta umum.
Widiaji, saat itu, tidak ikut dalam tim yang mempresentasikan impiannya dalam final di Jakarta. Timnya diwakili Ardian Permana dan Dular Budi Jatmiko. Sehingga saat itu, sesudah kemenangan mereka, perkenalan saya dengan Aji semata lewat email belaka. Malam itu, setelah delapan tahun, itulah kali pertama kita bertemu muka !
Sedang sang reporter ? Ia menjajaki kemungkinan saya sebagai pengisi acara dalam bincang-bincang tentang Epistoholik Indonesia kita, dua minggu mendatang. Reporter yang charming itu bernama Gracy Sondang Marpaung.
Dari Radio Geronimo !
Wonogiri, Klaten, Rebecca MacKinnon. Saya berangkat dari Wonogiri, 23/7, sekitar jam 14-an. Syukurlah, sebelum berangkat upaya saya "menyembuhkan" flash disk saya yang macet, berstatus write protected, lancar di Warnet Rion. Jadi saya bisa berangkat ke Jogya dengan ringan hati.
Sekedar info : bila flash disk itu macet, akibatnya tidak bisa digunakan untuk menyimpan data. Membuang data yang ada juga tak bisa. Bila parah, sekedar menampilkan isinya saja juga tidak bisa. Sebagai orang non-techie, saya tak tahu apa penyebabnya. Karena virus ?
Syukurlah, di bulan Maret 2010 yang lalu, dengan Google, saya menemukan "obat" untuk sakitnya flash disk saya itu. Silakan klik di sini. Lalu ikuti saja prosesnya. Insya Allah, solusi akan Anda temukan.
Flash disk yang bugar tersebut ternyata bermanfaat sekali ketika kita terjun di tengah pasar informasi yang dijajakan untuk berbagi pada beragam stan di perhelatan Jagongan Media Rakyat 2010 yang unik itu.
Berkumpul. Berbagi. Bergerak.
Dengan semboyan atau tagline yang menggugah itu, membuat spirit open source yang dikembangkan oleh penemu Linux, Linus Tolvalds, benar-benar menjadi roh yang hidup di tengah-tengah acara yang inspiratif tersebut.
Itu di Yogyakarta. Di kota saya, semangat untuk berbagi itu rupanya belum atau tidak tercermin ketika menengok kiri dan kanan jalan, saat bis yang saya tumpangi merayapi jalan raya Wonogiri-Solo, juga Solo-Yogyakarta. Saat ini di jalanan Wonogiri, dan juga di Klaten, mulai banyak dihiasi baliho-baliho besar yang memajang tampang dan janji-janji para calon bupati yang akan terjun dalam pemilihan umum kepala daerah bersangkutan.
Saya bergumam : baliho-baliho itu semangatnya seragam. Tidak mau berbagi. Sekaligus mencerminkan si kandidat sebagai tokoh yang tidak (mau) tersentuh. Terkait hal itu saya pernah menulis surat pembaca di Kompas Jawa Tengah (19/5/2010) tentang baliho-baliho sarat sikap arogansi itu. Berjudul "Pilkada, Google dan Wonogiri."
Petikan isinya : "Jual tampang dan jual gelar-gelar akademis merupakan pemandangan biasa menjelang Pilkada. Saksikan saja isi media kampanye para kandidat yang bertebaran di pinggir jalan raya, di mana di Wonogiri hal serupa mulai terjadi.
Tetapi kebanyakaan modus kampanye mereka bergaya sok artis, sok terkenal, dan selfish, mementingkan diri sendiri, karena tidak membuka peluang dialog dengan konstituen. Tak ada data nomor telepon/HP, email, blog/situs yang bisa mengundang konstituen untuk berinteraksi. Para kandidat pemimpin daerah di Wonogiri nampaknya belum terbuka cakrawalanya untuk memanfaatkan teknologi informasi secara semestinya."
Memanfaatkannya pun masih dengan pola pikir lama. Pagi itu, tiba-tiba sebuah SMS kampanye masuk ke HP saya. Saya tidak tahu bagaimana nomor saya bisa masuk dalam jangkauan si pengirim. Bunyi SMS tim sukses calon yang memperoleh nomor 3 itu sebagai berikut :
"Ingin perubahan ? Lakukan n pengaruhi keluarga, tetangga, handai taulan, n siapa pun termasuk para olahragawan, pemerhati olahraga, pelatih, pemerhati pendidikan, pemerhati kesehatan, pemerhati anak-anak, pejabat, buruh, kuli panggul, sopir, kernet, petani, peternak sampai rakyat profesi apapun utk ingat n coblos MUDY…(mulyadi-edy) : no 1 buka kartu no 2 lht gambarnya ben ora kliru no 3 dicoblos no 4 dilipat trus mskkan kotak suara. Gampang tho. Insya Allah upaya panj semua berkah. Amin." (23 Juli 2010 : 07.03.07).
SMS itu saya balas. "Agar kampanye Anda sukses, saya usulkan : 1. Jangan mengirimkan SMS yang isinya menyuruh-nyuruh orang, 2. Kirimkan SMS yang relevan dengan mindset para penerima dan tidak hanya sekali, dan 3. Ikuti nasehat pakar pemasaran digital Seth Godin yang memiliki formula mengubah orang asing menjadi kenalan, kenalan menjadi teman, dan teman menjadi pengikut."
Produk atau layanan teknologi informasi masa kini merupakan media ideal untuk berkampanye, asal dilandasi semangat yang tulus untuk berbagi. Karena karakter media digital adalah interaktif dan egaliter. Sungguh merupakan strategi yang mencerdaskan bila para kandidat itu tidak menganggap konstituen hanya sebagai botol kosong yang boleh mereka isi dengan citra atau janji muluk-muluk kampanye yang mereka tulis di baliho-baliho, spanduk sampai stiker mereka itu
Melainkan, secara legawa dan bersemangat mendaulat para konstituen untuk berbicara balik kepada dirinya. Baik lewat surat, faks, email, telepon, SMS sampai ke bentuk penulisan surat-surat pembaca. Lalu, para kandidat mencerna semua aspirasi itu, kemudian membalasnya, mendiskusikannya secara bersama.
Surat pembaca saya lainnya, berjudul "Caleg Tidak Mendengar" di harian Kompas Jawa Tengah (20/3/2009) membahas lebih lanjut akan hal itu. Selengkapnya berbunyi :
"Hai rakyat, dengarkanlah dan ikuti kata-kataku. Percayai janji-janjiku, dan pilihlah aku. Begitulah inti pesan dari berderet papan peraga kampanye para caleg yang bertebaran di jalanan. Mereka seolah berada di atas, mengira rakyat itu bodoh dan mudah mengikuti apa saja kata mereka.
Persepsi itu salah besar. Mereka harusnya mau belajar dari ujaran Rebbeca MacKinnon, seorang blogger dan peneliti di Universitas Harvard yang mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo.
Ia bilang, seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik.
Untuk mensosialisasikan pemilu dan individu caleg bersangkutan, kalau saja saya seorang birokrat KPU/KPUD atau caleg dan birokrat partai, akan saya ajari rakyat untuk menulis di beragam media. Baik artikel atau surat-surat pembaca di media massa, atau pun di blog-blog di Internet. Termasuk membebaskan mereka untuk menuliskan kritik untuk para caleg bersangkutan.
Dengan demikian maka papan peraga kampanye di jalanan itu bukan sebagai media indoktrinasi, searah, yang membodohi rakyat. Tetapi lebih merupakan undangan awal bahwa caleg bersangkutan bersedia membuka telinga untuk mendengar aspirasi rakyat."
Saya bersemangat berangkat ke Yogya, antara lain untuk berupaya mengampanyekan bagaimana kolom surat-surat pembaca dapat didaulat sebagai media rakyat untuk berbicara. Ternyata, di tengah perhelatan Jagongan Media Rakyat 2010 itu mata saya semakin terbuka terhadap kehadiran beragam media lainnya sebagai sarana rakyat untuk berbicara. Terjun di tengah keragaman itu maka rasanya petualangan seorang anak kecil yang kecebur di tengah-tengah toko permen,merangsang untuk segera dimulai !
(Bersambung)
Wonogiri, 26-27/7/2010
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment