Tuesday, July 20, 2010
Demokrasi, Facebook dan Eksistensi Maya Anda
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 100/Juli 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
"Seperti taman kanak-kanak."
Anda masih ingat julukan seperti itu yang dilontarkan oleh almarhum Gus Dur ketika menggambarkan profil dan perangai para wakil rakyat kita ?
"Demokrasi kita masih berumur 2-3 tahun."
Begitu kata begawan lingkungan hidup dan negarawan kita, Emil Salim.
Di buku saya yang akan segera terbit, Komedikus Erektus, sambil merujuk "huru-hara" para wakil rakyat kita ketika bersidang melakukan pemungutan suara terkait kasus skandal Bank Century yang kini sayup-sayup telah kita lupakan (?), saya menuliskan pendapat : mereka berhura-hura itu sebagai kompensasi karena mereka hanya memiliki penis yang kecil-kecil belaka.
Sumber rujukan :
ucapan Gus Dur di atas.
Sumber segala kegaduhan seperti di atas itu, oleh "nabi" media digital dari MIT, Nicholas Negroponte, penulis buku Being Digital (1995) (foto), disebutnya karena kita masih dalam situasi eforia dalam mengelola kondisi-kondisi baru. Ketika terbebas dari cengkeraman rejim Soeharto dan Orde Barunya yang represif, kita mabuk untuk melakukan pesta pora. Mabuk demo, gugat-menggugat, aksi teror untuk mengancam pejuang demokrasi, bahkan termasuk pesta pora dalam melakukan korupsi pula !
Mabuk tombol. Nicholas Negroponte, punya tamsil jitu untuk itu. Fenomena eforia atau bahkan mabuk kita saat ini ibarat kita ketika memiliki sebuah kamera handycam yang baru. Karena kegirangan, semua tombol akan kita eksploitasi. Semua gerakan kamera dan teknik syuting dipakai sekaligus. Saat ditayangkan, walhasil, gambarnya jelas membikin pusing penontonnya.
Dengan berjalannya waktu, ketika penguasaan terhadap beragam tombol dan teknik penggunaan kamera itu sudah memadai, maka hasil syutingnya menjadi tidak memusingkan lagi. Kehidupan demokrasi di negara kita akan seperti itu juga kiranya.
Eforia a la pemakaian kamera handycam itu juga berlaku dan marak di dunia jaringan sosial, Facebook. Banyak dari kita yang selama ini belum terbiasa, atau belum memiliki tradisi kokoh dalam mengungkapkan pikiran atau berekspresi dengan kata-kata melalui media, tiba-tiba terbuka peluang untuk hal itu.
Hasilnya ?
Silakan Anda sendiri yang menilainya.
Halaman Facebook memang kuat menggoda kita untuk menjadi selfish, ketika menulis tentang apa saja. Apalagi tulisan-tulisan status yang engga usah mikir pun bisa. Godaan serupa juga pernah saya alami sebagai kaum epistoholik, kaum pemabuk dalam kiprah penulisan surat-surat pembaca di media massa. Kaum epistoholik terbiasa tergoda untuk mengomentari segala hal. Menulis topik segala hal.
Nasehat David Parrish. Memang itu bukan penyakit yang berbahaya. Tetapi dalam bingkai terkait ciri wanci, identitas, jati diri, atau kerennya personal brand, pilihan menjadi makhluk renaisans yang memiliki beragam minat dan keahlian di era melimpahruahnya informasi ini jelas merupakan suatu kemustahilan.
Menurut Henri Jenkins, salah satu pendiri Comparative Media Studies Program di Massachusetts Institute of Technology, dalam artikelnya "The Future of Teenagers: My Interview in O Globo" (14/6/2010), kita kini tercebur dalam era intelijen kolektif, sebuah dunia di mana tidak ada seorang pun mengetahui segala hal. Sehingga apa yang diketahui oleh seseorang harus dibagikan kepada kelompok yang membutuhkannya.
Henri Jenkins berpendapat bahwa anak-anak muda masa kini dituntut belajar untuk mengetahui keahlian masing-masing dari teman mereka, juga orang lain dalam jaringan mereka, untuk belajar bekerja sama guna menyelesaikan masalah kompleks yang tidak mampu mereka pecahkan secara sendirian. Hal itu juga berlaku dalam dunia pekerjaan, juga dalam kehidupan bermasyarakat.
Berekspresi dalam berbagai topik di media maya, juga di Facebook, bila menurut pakar ekonomi kreatif dari Inggris, David Parrish, ibarat kita seorang diri yang menerjunkan diri dalam pelbagai fron sekaligus. Dalam satu waktu kita memilih untuk memiliki banyak musuh. Banyak kompetitor. Tidak kita sadari, pilihan ini merupakan salah satu penyebab kegagalan.
Nasehat David Parrish : "Semakin Anda terspesialisasi, semakin sedikit kompetitor nyata Anda. Memang benar, pangsa pasar Anda akan menjadi mengecil juga, tetapi demikian pula jumlah pemasoknya. Lebih baik menjadi ikan yang terbesar, walau pun kolamnya lebih kecil."
Terima kasih, Henry Jenkins.
Terima kasih, David Parrish.
Blog spesialis. Masih berat juga bagi saya untuk saat ini secara ketat mengikuti nasehat keduanya. Tetapi saya memiliki solusi sendiri. Di Facebook dan kolom-kolom surat pembaca, saya akan tetap menulis tentang segala hal. Tetapi tulisan yang sama juga akan saya pilah-pilah untuk dipajang pada blog yang khusus topiknya.
Sejauh ini, sepertinya, tidak jelek-jelek amat hasilnya. Sebagai perbandingan, di Facebook sebagai ranah maya the walled garden di mana tercatat data sekitar 400-an orang bernama "Bambang Haryanto," hal itu membuat saya tersesat. Justru dalam fasilitas "Search" saya dan teman-teman rasanya kesulitan menemukan akun diri saya di Facebook, walau saya sudah menulis 100 catatan di sana ! Tetapi syukurlah, Google masih berbaik hati dalam menampilkan eksistensi diri saya di antara nama yang sama pada kiprah di pelataran dunia maya lainnya.
Dampak baiknya, sebagai contoh, blog komedi saya, Insya Allah, akan menjadi buku. Blog suporter sepak bola saya beberapa kali menjadi rujukan media, juga menghasilkan naskah buku Hari-Hari Sepak Bola Indonesia Mati yang saya tulis tahun 2003-2004 yang lewat.
Blog tentang keluarga besar saya, Trah Martowirono, pernah diliput di harian Solopos (16/6/2007), lucu juga, mampu mengenalkan kami dengan pemilik keturunan Martowirono yang tersebar di Amerika Serikat, Suriname, Belanda dan Irlandia. Walau ternyata kami hanya memiliki kesamaan nama untuk nenek moyang kita belaka, tetapi toh hubungan antarkita yang antarbenua itu tetap baik adanya.
Sedang blog penulisan surat pembaca rupanya membuat LSM Combine dari Yogyakarta tergelitik untuk mengundang saya dalam acara mereka akhir bulan Juli 2010 ini. Acara mereka itu disebut Jagongan Media Rakyat 2010, di Jogja National Museum, 22-25 Juli 2010. Rinciannya adalah sebuah perhelatan akbar 4 hari, persembahan dari 40 komunitas, menggelar 40 pelatihan/diskusi, 40 stand, dimeriahkan 40 pertunjukan, dan dihadiri lebih dari 4.000 pengunjung.
Saya kebagian untuk bercerita tentang kiprah kaum epistoholik dalam workshop: "Memindahkan" Himalaya Melalui Surat Pembaca. Waktunya : Jumat, 23 Juli 2010, Jam 19.30 - 21.00.
Teman-teman saya di Yogya dan sekitarnya, bisakah kita ketemuan di sana ?
Wonogiri, 20 Juli 2010
ee
Esai Epistoholica No. 100/Juli 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
"Seperti taman kanak-kanak."
Anda masih ingat julukan seperti itu yang dilontarkan oleh almarhum Gus Dur ketika menggambarkan profil dan perangai para wakil rakyat kita ?
"Demokrasi kita masih berumur 2-3 tahun."
Begitu kata begawan lingkungan hidup dan negarawan kita, Emil Salim.
Di buku saya yang akan segera terbit, Komedikus Erektus, sambil merujuk "huru-hara" para wakil rakyat kita ketika bersidang melakukan pemungutan suara terkait kasus skandal Bank Century yang kini sayup-sayup telah kita lupakan (?), saya menuliskan pendapat : mereka berhura-hura itu sebagai kompensasi karena mereka hanya memiliki penis yang kecil-kecil belaka.
Sumber rujukan :
ucapan Gus Dur di atas.
Sumber segala kegaduhan seperti di atas itu, oleh "nabi" media digital dari MIT, Nicholas Negroponte, penulis buku Being Digital (1995) (foto), disebutnya karena kita masih dalam situasi eforia dalam mengelola kondisi-kondisi baru. Ketika terbebas dari cengkeraman rejim Soeharto dan Orde Barunya yang represif, kita mabuk untuk melakukan pesta pora. Mabuk demo, gugat-menggugat, aksi teror untuk mengancam pejuang demokrasi, bahkan termasuk pesta pora dalam melakukan korupsi pula !
Mabuk tombol. Nicholas Negroponte, punya tamsil jitu untuk itu. Fenomena eforia atau bahkan mabuk kita saat ini ibarat kita ketika memiliki sebuah kamera handycam yang baru. Karena kegirangan, semua tombol akan kita eksploitasi. Semua gerakan kamera dan teknik syuting dipakai sekaligus. Saat ditayangkan, walhasil, gambarnya jelas membikin pusing penontonnya.
Dengan berjalannya waktu, ketika penguasaan terhadap beragam tombol dan teknik penggunaan kamera itu sudah memadai, maka hasil syutingnya menjadi tidak memusingkan lagi. Kehidupan demokrasi di negara kita akan seperti itu juga kiranya.
Eforia a la pemakaian kamera handycam itu juga berlaku dan marak di dunia jaringan sosial, Facebook. Banyak dari kita yang selama ini belum terbiasa, atau belum memiliki tradisi kokoh dalam mengungkapkan pikiran atau berekspresi dengan kata-kata melalui media, tiba-tiba terbuka peluang untuk hal itu.
Hasilnya ?
Silakan Anda sendiri yang menilainya.
Halaman Facebook memang kuat menggoda kita untuk menjadi selfish, ketika menulis tentang apa saja. Apalagi tulisan-tulisan status yang engga usah mikir pun bisa. Godaan serupa juga pernah saya alami sebagai kaum epistoholik, kaum pemabuk dalam kiprah penulisan surat-surat pembaca di media massa. Kaum epistoholik terbiasa tergoda untuk mengomentari segala hal. Menulis topik segala hal.
Nasehat David Parrish. Memang itu bukan penyakit yang berbahaya. Tetapi dalam bingkai terkait ciri wanci, identitas, jati diri, atau kerennya personal brand, pilihan menjadi makhluk renaisans yang memiliki beragam minat dan keahlian di era melimpahruahnya informasi ini jelas merupakan suatu kemustahilan.
Menurut Henri Jenkins, salah satu pendiri Comparative Media Studies Program di Massachusetts Institute of Technology, dalam artikelnya "The Future of Teenagers: My Interview in O Globo" (14/6/2010), kita kini tercebur dalam era intelijen kolektif, sebuah dunia di mana tidak ada seorang pun mengetahui segala hal. Sehingga apa yang diketahui oleh seseorang harus dibagikan kepada kelompok yang membutuhkannya.
Henri Jenkins berpendapat bahwa anak-anak muda masa kini dituntut belajar untuk mengetahui keahlian masing-masing dari teman mereka, juga orang lain dalam jaringan mereka, untuk belajar bekerja sama guna menyelesaikan masalah kompleks yang tidak mampu mereka pecahkan secara sendirian. Hal itu juga berlaku dalam dunia pekerjaan, juga dalam kehidupan bermasyarakat.
Berekspresi dalam berbagai topik di media maya, juga di Facebook, bila menurut pakar ekonomi kreatif dari Inggris, David Parrish, ibarat kita seorang diri yang menerjunkan diri dalam pelbagai fron sekaligus. Dalam satu waktu kita memilih untuk memiliki banyak musuh. Banyak kompetitor. Tidak kita sadari, pilihan ini merupakan salah satu penyebab kegagalan.
Nasehat David Parrish : "Semakin Anda terspesialisasi, semakin sedikit kompetitor nyata Anda. Memang benar, pangsa pasar Anda akan menjadi mengecil juga, tetapi demikian pula jumlah pemasoknya. Lebih baik menjadi ikan yang terbesar, walau pun kolamnya lebih kecil."
Terima kasih, Henry Jenkins.
Terima kasih, David Parrish.
Blog spesialis. Masih berat juga bagi saya untuk saat ini secara ketat mengikuti nasehat keduanya. Tetapi saya memiliki solusi sendiri. Di Facebook dan kolom-kolom surat pembaca, saya akan tetap menulis tentang segala hal. Tetapi tulisan yang sama juga akan saya pilah-pilah untuk dipajang pada blog yang khusus topiknya.
Sejauh ini, sepertinya, tidak jelek-jelek amat hasilnya. Sebagai perbandingan, di Facebook sebagai ranah maya the walled garden di mana tercatat data sekitar 400-an orang bernama "Bambang Haryanto," hal itu membuat saya tersesat. Justru dalam fasilitas "Search" saya dan teman-teman rasanya kesulitan menemukan akun diri saya di Facebook, walau saya sudah menulis 100 catatan di sana ! Tetapi syukurlah, Google masih berbaik hati dalam menampilkan eksistensi diri saya di antara nama yang sama pada kiprah di pelataran dunia maya lainnya.
Dampak baiknya, sebagai contoh, blog komedi saya, Insya Allah, akan menjadi buku. Blog suporter sepak bola saya beberapa kali menjadi rujukan media, juga menghasilkan naskah buku Hari-Hari Sepak Bola Indonesia Mati yang saya tulis tahun 2003-2004 yang lewat.
Blog tentang keluarga besar saya, Trah Martowirono, pernah diliput di harian Solopos (16/6/2007), lucu juga, mampu mengenalkan kami dengan pemilik keturunan Martowirono yang tersebar di Amerika Serikat, Suriname, Belanda dan Irlandia. Walau ternyata kami hanya memiliki kesamaan nama untuk nenek moyang kita belaka, tetapi toh hubungan antarkita yang antarbenua itu tetap baik adanya.
Sedang blog penulisan surat pembaca rupanya membuat LSM Combine dari Yogyakarta tergelitik untuk mengundang saya dalam acara mereka akhir bulan Juli 2010 ini. Acara mereka itu disebut Jagongan Media Rakyat 2010, di Jogja National Museum, 22-25 Juli 2010. Rinciannya adalah sebuah perhelatan akbar 4 hari, persembahan dari 40 komunitas, menggelar 40 pelatihan/diskusi, 40 stand, dimeriahkan 40 pertunjukan, dan dihadiri lebih dari 4.000 pengunjung.
Saya kebagian untuk bercerita tentang kiprah kaum epistoholik dalam workshop: "Memindahkan" Himalaya Melalui Surat Pembaca. Waktunya : Jumat, 23 Juli 2010, Jam 19.30 - 21.00.
Teman-teman saya di Yogya dan sekitarnya, bisakah kita ketemuan di sana ?
Wonogiri, 20 Juli 2010
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment