Tuesday, July 20, 2010
Perpustakaan Sampah
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 99/Juli 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Di kolom surat pembaca sering termuat aktivitas sekelompok mahasiswa yang sedang melakukan kuliah kerja nyata (KKN) yang berniat membangun perpustakaan di desa tempat mereka mengabdikan diri. Untuk niatan itu, mereka kemudian meminta sumbangan bahan-bahan pustaka.
Ide dan niat itu sungguh mulia.
Tetapi sering mereka lupakan, bahwa perpustakaan buatan mereka itu harus terus tumbuh, bahkan ketika mereka selesai melangsungkan KKN itu. Bahan-bahan pustaka yang terbatas, hanya itu-itu saja dan tak ada yang baru, justru akan mematikan minat warga untuk membaca.
Salah satu cara membuat perpustakaan bertumbuh adalah menjamin adanya aliran dana untuk membeli buku-buku baru. Bagaimana bila dana itu dicoba dihasilkan melalui penjualan sampah-sampah di desa bersangkutan ?
Kita dapat belajar dari solusi kreatif yang muncul dari gerakan akar rumput di Dusun Badegan, Trirenggo, Bantul, Yogyakarta. Berawal dari kesadaran individu, warga mulai mengumpulkan sampah di rumahnya.
Sampah tersebut lalu disetorkan ke Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan (foto) atau yang kini lebih dikenal dengan nama Bank Sampah Gemah Ripah yang dipelopori oleh Bambang Suwerda.
Di tempat ini sampah ditimbang, dicatat dan kemudian harganya ditentukan ketika sampah tersebut dibeli oleh pengepul sampah. Disinilah letak fungsi bank karena pencairannya kepada warga dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Ternyata, jika sampah dikelola dengan baik bisa mendatangkan manfaat, membawa berkah bagi warganya. Perpustakaan desa yang dibangun dari hasil sampah pun, kiranya pantas pula untuk kita coba.
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612
*)Surat pembaca ini dengan penyuntingan telah dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Senin, 19 Juli 2010 : Halaman D.
Esai Epistoholica No. 99/Juli 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Di kolom surat pembaca sering termuat aktivitas sekelompok mahasiswa yang sedang melakukan kuliah kerja nyata (KKN) yang berniat membangun perpustakaan di desa tempat mereka mengabdikan diri. Untuk niatan itu, mereka kemudian meminta sumbangan bahan-bahan pustaka.
Ide dan niat itu sungguh mulia.
Tetapi sering mereka lupakan, bahwa perpustakaan buatan mereka itu harus terus tumbuh, bahkan ketika mereka selesai melangsungkan KKN itu. Bahan-bahan pustaka yang terbatas, hanya itu-itu saja dan tak ada yang baru, justru akan mematikan minat warga untuk membaca.
Salah satu cara membuat perpustakaan bertumbuh adalah menjamin adanya aliran dana untuk membeli buku-buku baru. Bagaimana bila dana itu dicoba dihasilkan melalui penjualan sampah-sampah di desa bersangkutan ?
Kita dapat belajar dari solusi kreatif yang muncul dari gerakan akar rumput di Dusun Badegan, Trirenggo, Bantul, Yogyakarta. Berawal dari kesadaran individu, warga mulai mengumpulkan sampah di rumahnya.
Sampah tersebut lalu disetorkan ke Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan (foto) atau yang kini lebih dikenal dengan nama Bank Sampah Gemah Ripah yang dipelopori oleh Bambang Suwerda.
Di tempat ini sampah ditimbang, dicatat dan kemudian harganya ditentukan ketika sampah tersebut dibeli oleh pengepul sampah. Disinilah letak fungsi bank karena pencairannya kepada warga dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Ternyata, jika sampah dikelola dengan baik bisa mendatangkan manfaat, membawa berkah bagi warganya. Perpustakaan desa yang dibangun dari hasil sampah pun, kiranya pantas pula untuk kita coba.
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612
*)Surat pembaca ini dengan penyuntingan telah dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Senin, 19 Juli 2010 : Halaman D.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment